Ekonom: Pendapatan Tinggi Tak Cerminkan Kaya
VIVAnews - Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, sepakat dengan prediksi Badan Pusat Statistik (BPS) yang memperkirakan pendapatan per kapita rakyat Indonesia mencapai US$3.000 tahun ini. Namun, Indef meminta pemerintah lebih jeli karena masih banyak penduduk miskin di Indonesia.
Aviliani mengatakan pendapatan per kapita US$3.000 bukan sesuatu yang menggembirakan. Pendapatan itu bisa saja terjadi karena kondisi ekonomi sedang menggelembung (bubble), sehingga pendapatan per kapita orang makin naik.
Konsep yang salah menurut dia adalah pada perhitungan pendapatan per kapita Indonesia masih menghitung total produk domestik bruto (PDB) dibandingkan jumlah penduduk. "Inilah yang membuat kesenjangan," kata Aviliani di Jakarta, Kamis 23 Desember 2010.
Ia mencontohkan, pendapatan per kapita dalam setahun bisa naik hampir US$400, karena dari pasar modal memang memberikan keuntungan 40 persen per tahun.
Cerminan lain yang bisa dilihat adalah pada kondisi makro ekonomi yang sedang bagus, dengan kinerja perusahaan juga meningkat. Tapi, di sisi lain harus diakui pendapatan itu tak merata karena penikmat kenaikan ini hanya sebagian.
Masyarakat kelas bawah, Aviliani melanjutkan, adalah kelompok terseret karena kondisi makro yang baik itu akibat inflasi yang dibentuk kelompok paling besar. "Dampaknya adalah masyarakat bawah pendapatan tidak banyak meningkat, tapi dia harus membeli barang yang lebih mahal," katanya. Kondisi ini bisa diistilahkan yang kaya makin kaya, sedang yang miskin makin terpuruk.
Untuk itu, Aviliani menyarankan agar ke depan, guna mendapatkan gambaran riil pendapatan masyarakat secara keseluruhan, pendapatan per kapita harusnya dilihat dengan memperhitungan pendapatan dan juga pengeluaran masyarakat rata-rata.
Pemerintah harus bisa menyajikan berapa peta antara pendapatan masyarakat kelas atas dengan pendapatan masyarakat kelas bawah. Rumus perhitungan seperti itu menurut dia penting guna menentukan kebijakan yang lebih tepat sasaran.
"Karena kalau melihat ke bawah, itu sekitar 76 juta orang masih jadi penerima raskin dan Jamkesmas," ujar dia. Jadi, pada kondisi riilnya, meski pendapatan per kapita US$3.000, pendapatan ini timpang antara yang kaya dan miskin.