Alasan Program Konversi BBG Tak Maksimal
VIVAnews - Program konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas yang dipromosikan pemerintah sebenarnya telah dimulai sejak 1995. Namun, hal itu tidak kunjung berhasil. Apa kendalanya?
Sekretaris Jenderal CNG Association of Indonesia, Danny Praditya, menjelaskan, hambatan pengembangan BBG di Indonesia dapat dilihat dari berbagai faktor seperti stasiun pengisian bahan bakar gas, angkutan umum, bengkel, pengujian, harga BBG, kualitas BBG, dan sosialisasi.
Dari sisi SPBG, menurut dia, saat ini jumlahnya di Jakarta sangat terbatas, sehingga jarak SPBG yang jauh menyebabkan hilang waktu untuk menuju stasiun pengisian bahan bakar gas itu.
"Penumpang pasti turun ketika angkot keluar jalur untuk mengisi BBG. Selain itu, di beberapa SPBG juga ada aturan yang mengharuskan penumpang turun saat mengisi BBG untuk keamanan," kata Danny di Jakarta, Jumat 2 Maret 2012.
Dari sisi angkutan umum, Danny melanjutkan, para pengemudi terbebani setoran tambahan jika menggunakan BBG. Selain itu, kapasitas tabung BBG yang kecil membuat para pengemudi mengharuskan mengisi 2-3 kali pengisian dalam sehari dan itu membuat pengemudi kehilangan banyak waktu.
"Hampir 60 persen jumlah angkot di Jakarta umurnya lebih dari lima tahun, tidak terawat, dan masih menggunakan karburator yang tidak cocok dengan BBG. Solusinya, diperlukan peremajaan angkot yang sudah menggunakan BBG," ujarnya.
Dari sisi perawatan, dia melanjutkan, saat ini jumlah bengkel dan mekanik yang menguasai BBG terbatas serta lokasinya jauh dari SPBG. Selain itu, belum ada pengujian berkala terhadap tabung BBG.
Bahkan, dari sisi harga, selisih harga BBG dengan BBM jenis premium yang tidak terlalu jauh, diakuinya belum menarik bagi pengguna BBG. Minimal, selisih harga BBG dengan BBM sekitar 60 persen agar pengguna BBM mau pindah ke BBG.
Sementara itu, peneliti industrial engineering Universitas Gadjah Mada, Jayan Sentanuhady, menjelaskan, pemerintah harus memperhatikan kualitas Compressed Natural Gas (CNG), jika ingin menjalankan program konversi BBG. Indonesia hingga saat ini belum mempunyai standar CNG berkelas internasional karena kadar airnya tinggi.
Saat ini, dia menjelaskan, kualitas CNG tidak baik dengan methane number sekitar 65-70 dan kadar air yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan banyak mesin mobil BBG cepat rusak. "Rata-rata, setelah mobil menggunakan CNG selama satu tahun, dibongkar mesinnya, ditemukan satu liter air," katanya.
Kondisi itu, menurut dia, menyebabkan konsumsi CNG menjadi boros. Seharusnya, satu liter setara premium CNG dapat menempuh dua kilometer, tetapi kenyataanya saat ini hanya 1-1,5 km per satu lsp. "Kualitas gas kita masih jelek, tidak ada standar kualitas gas. Minimal methane number CNG itu 80, setara dengan oktan 130," ujarnya.
Danny mempunyai solusi, yaitu dengan menambah dryer dan CO2 removal pada hulu sebelum gas masuk ke jaringan SPBG. "Dengan menambahkan dryer di hulu, dapat memberikan kualitas gas yang baik secara merata di setiap SPBG," kata dia.
Hal terakhir yang harus diperhatikan adalah program konversi BBG yang diterapkan oleh pemerintah saat ini masih sekadar hit and run. Artinya, pemerintah hanya sekadar melaksanakan program tanpa ada evaluasi.
Salah satu contoh kegagalan program konversi BBG adalah di Palembang pada 2008. Pertama kali diluncurkan, terdapat 660 angkutan umum dan 25 bus transmusi yang dipasang converter kit, namun saat ini hanya tersisa 50 angkutan umum.
"Sewaktu tersisa 200 angkutan umum, saya disuruh meneliti oleh pengusaha SPBG kenapa bisa turun (angkutan umum pengguna BBG). Ternyata, program ini tidak ada follow up dari pemerintah, hanya hit and run. Hanya memasang converter kit, tetapi tidak dievaluasi dan dicek ulang oleh Dinas Perhubungan," kata Jayan.
Selain itu, tidak adanya workshop saat mobil mengalami kerusakan mesin membuat angkutan umum kembali beralih ke BBM. Bahkan, dari 25 bus, saat ini tidak ada satupun yang menggunakan BBG. "Problem psikologis penumpang juga ada, penumpang takut naik angkutan umum BBG karena tidak ada edukasi dari pemerintah," jelasnya. (art)