Ingin Mendunia, Bakrie Sumatera Perkuat Riset
VIVAnews - PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk meneguhkan niat untuk menjadi perusahaan perkebunan terintegrasi yang tangguh. Salah satu upaya perusahaan adalah pengembangan teknologi baru yang akan menunjang proses produksi.
Untuk itu, Bakrie Sumatera melalui unit kerjanya Bakrie Agriculture Research Institute (BARI) menjalin kesepakatan kerja sama dengan Pusat Penelitian Kelapa Sawit dan Pusat Penelitian Karet Indonesia.
Kerja sama itu diharapkan dapat meningkatkan peran BARI sebagai unit kerja yang produktif melakukan kajian dan temuan paket teknologi baru yang aplikatif bagi proses produksi Bakrie Sumatera.
"Kami di Bakrie Sumatera memiliki cita-cita besar. Kami ingin menjadi global company yang kuat," kata Howard J Sargeant, direktur Bakrie Sumatera dalam keterangan tertulis yang diterima VIVAnews di Jakarta, Jumat 2 Maret 2012.
Sargeant menjelaskan, untuk merealisasikan cita-cita itu, salah satu syaratnya adalah dengan mengembangkan Research and Development atau Litbang. "Karena itu, kami ingin menjadikan BARI sebagai lembaga riset yang kuat dan tangguh," ujarnya.
Penandatanganan kerja sama antara Bakrie Sumatera melalui BARI dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit serta Pusat Penelitian Karet Indonesia itu telah dilakukan, kemarin, 1 Maret 2012 di Medan.
BARI adalah unit kerja Bakrie Sumatera yang dibangun di daerah Kisaran, Sumatera Utara, dengan investasi sekitar Rp12,5 miliar. Lembaga tersebut, menurut Sargeant, dibangun dengan tugas dan fungsi riset yang komprehensif di bidang perkebunan agribisnis, khususnya perkebunan kelapa sawit dan karet.
Sementara itu, untuk menjadi perusahaan perkebunan yang besar dan mendunia, Bakrie Sumatera Plantations memang sudah selayaknya memiliki dan mengembangkan unit kerja riset. Untuk menjadi pemain besar di tingkat global, sebagai perusahaan global yang disegani dan dikagumi, Bakrie Sumatera harus memiliki dan mengembangkan riset yang kuat.
Presiden Direktur Bakrie Sumatera, Ambono Janurianto, menjelaskan, tantangan yang dihadapi oleh industri perkebunan kelapa sawit dan karet ke depan dipastikan akan semakin berat. Indonesia, menurut Ambono, harus harus lebih memprioritaskan riset yang kuat di bidang perkebunan untuk memenangi persaingan global.
"Tanpa pengembangan riset, Indonesia akan tertinggal dalam 10 tahun sampai 15 tahun mendatang," ujarnya.
Pada 2010, Indonesia memiliki sekitar 8 juta hektare perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan 22,7 juta ton minyak kelapa sawit mentah (CPO). Sementara itu, Malaysia menghasilkan 17,5 juta ton CPO dari lahan sedikitnya 5 juta hektare.
Namun, minimnya perhatian pemerintah terhadap penelitian dan pengembangan membuat produktivitas CPO Indonesia masih rendah. Menurut Ambono, pemerintah sebaiknya mengembalikan sebagian dana dari bea keluar CPO untuk mendukung riset, terutama bagi petani kelapa sawit. (art)