Indonesia Tantang AS Adu Argumen Soal CPO
VIVAnews - Menteri Perdagangan Gita Wirjawan siap mematahkan argumen pemerintah Amerika Serikat (AS) yang melarang minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dari Indonesia. Salah satu argumennya adalah rencana pemerintah meningkatkan produktivitas lahan sawit hingga 2020.
"Salah satu argumen yang belum mereka pertimbangkan dan akan kami sampaikan adalah peningkatan yield (produktivitas) di lahan kita sampai 2020. Dan ini batas minimum (AS) 20 persen dan kita saat ini 17 persen," kata Gita Wirjawan di Jakarta, Rabu, 1 Februari 2012.
Dengan argumen tersebut, Gita yakin pemerintah Indonesia dapat mematahkan argumen AS. Selain peningkatan yield, Indonesia juga merancang argumen lain yang akan disampaikan pada pemerintah AS.
Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengklaim, berdasarkan kajian, bahan bakar kelapa sawit (biofuel) dapat menghemat 40-56 persen gas rumah kaca. Temuan ini berbeda dari kajian AS yang menyatakan biofuel dari minyak sawit hanya mengurangi 11-12 persen gas rumah kaca.
Bayu menjelaskan, penolakan CPO asal Indonesia di AS lebih disebabkan program pemerintah negara Adikuasa itu yang akan memulai program pengurangan efek gas rumah kaca pada 2012. AS rencananya mempunyai program bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 7,5 miliar galon harus menjadi biofuel yang mampu mengurangi gas rumah kaca dibandingkan BBM fosil minimum 20 persen. "Palm oil hanya 11-12 persen, itu klaim mereka," kata Bayu.
Ia menambahkan, pertimbangan pemerintah AS dalam memutuskan penolakan CPO asal Indonesia juga masih banyak kelemahan. Pemerintah AS dinilai hanya memandang semua pohon sawit berasal dari hutan alam, padahal sebagian besar berasal dari perkebunan.
AS juga tidak memperhitungkan fakta bahwa pohon kelapa sawit itu berasal dari tanaman yang selama 30 tahun tidak diapa-apakan dan tidak ditebang.
Hal lain yang luput diperhitungkan pemerintah AS adalah sawit setiap tahunnya bisa meningkat produktivitas. Terakhir, AS sama sekali tidak memperhitungkan bahwa praktik pertanian yang berkelanjutan telah diterapkan dalam perkebunan sawit saat ini.
"Jadi, kami memandang bahwa klaim mereka sangat bisa didebat, sangat bisa didiskusikan. Saya kira indonesia berpengalaman, kami mampu mengubah pandangan Bank Dunia. Bank Dunia dulu juga seperti itu, namun berubah setelah kami jelaskan. Kami akan melakukan hal yang sama untuk Amerika Serikat," kata Bayu.
Amerika Serikat memberikan waktu bantahan kepada Indonesia hingga 27 Februari 2012. Untuk itu, pemerintah meminta seluruh stakeholder sawit, memberikan pandangannya tentang kelapa sawit.
"Sekarang ini terbuka untuk opini publik, ini yang harus dimanfaatkan maksimal mungkin," kata Bayu. "Kalau secara scientific, sedang disusun pemerintah, minggu depan akan dikirim."
Kendati Indonesia tak terlalu terpengaruh dengan keputusan AS ini, Bayu menyatakan penolakan komoditas CPO ini lebih kepada kepentingan publik internasional dibandingkan volume ekspor. Ekspor CPO Indonesia ke Amerika kurang dari 100 ribu ton. (art)