Tantangan OJK Versi Praktisi Perbankan
VIVAnews - Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada November lalu mengatur semua hal terkait sektor keuangan dan pasar modal.
Chief Financial Officer PT Bank Mandiri Tbk, Pahala N Mansury, berharap, OJK nantinya bisa memahami persoalan-persoalan yang dihadapi kalangan perbankan.
"Sebagai regulator, perlu dibangun bahwa sektor jasa keuangan bisa dijaga kesehatannya dengan beberapa tantangan perbankan," kata Pahala, dalam seminar 'The Future of Banking: Pekerjaan Rumah bagi OJK', di Hotel Ritz Carlton, kawasan Megakuningan, Jakarta, Rabu, 7 Desember 2011.
Pahala mengungkapkan, tantangan yang dihadapi OJK ke depan adalah pertama, optimalisasi intermediasi yang harus terus tumbuh 18-20 persen per tahun. OJK diharapkan bisa memecahkan pertanyaan seputar sumber pendanaan yang akan diperoleh perbankan agar tidak terjadi risiko pengendalian likuiditas.
"LDR (loan to deposit ratio) sudah mungkin lebih tinggi dari regional, sudah 77-78 persen. Kalau diharapkan tumbuh sampai 20 persen, perlu menumbuhkan DPK 18-20 persen juga. Tapi, dari mana?" tanyanya.
Tantangan kedua bagi OJK adalah pengawasan terhadap kualitas kredit yang dalam 5-10 tahun mendatang pertumbuhan kredit bisa mencapai rata-rata 24 persen. OJK diharapkan bisa menjaga keseimbangan pertumbuhan dan menjaga aktiva produktif tetap baik.
OJK juga dipastikan bakal menemukan tantangan ketiga berupa penetrasi akses terhadap perbankan yang masih kurang. Saat ini, total rekening tidak lebih dari 70-80 juta orang dewasa yang bisa dilayani oleh delapan cabang. "Perlu pengaturan ekspansi dan mempertimbangkan profitabilitas," kata dia.
Terakhir, OJK bakal menemukan tantangan berupa implementasi ASEAN Economic Community, khususnya di sektor perbankan pada 2020. Indonesia dianggap perlu mempersiapkan segala hal mulai dari sumber daya manusia, permodalan, dan lainnya.
"OJK diharapkan memperjuangkan kepentingan perbankan Indonesia. Aturan perbankan antar negara belum ada kesetaraan," kata Pahala.
Persiapan itu, Pahala melanjutkan, bukan hanya orangnya, tetapi juga fungsi pengaturannya, sehingga tidak mengganggu industri perbankan.
Dalam masa transisi OJK, Pahala mengakui kalangan perbankan masih memerlukan kejelasan mengenai kewenangan lembaga baru tersebut. Alasannya, selama ini kalangan perbankan seringkali harus menghadapi cukup banyak pemeriksa. "Tapi, jangan ada juga supervisi berlebihan," katanya.
Dari sisi pengalihan fungsi, kalangan perbankan menganggap perlu disiapkan batas waktu dan sumber daya manusia. Selama ini, fungsi pengawasan dan pemeriksaan dilakukan oleh BI. "Sumber daya OJK memperoleh resources yang bukan hanya dari regulator, tapi juga pelaku," kata dia.
OJK, Pahala melanjutkan, perlu menyelaraskan kearifan lokal dengan praktisi yang paling andal. "Akhir-akhir ini, volatilitas ekonomi meningkat. Kita perlu belajar dari Inggris yang gagal karena masalah koordinasi," kata dia. (art)