Mengapa Kontrak Tambang Perlu Renegosiasi
VIVAnews - Lembaga kajian pertambangan ReforMiner Institute menyatakan bahwa penerimaan negara dari pertambangan umum hanya sekitar 23,2 persen dari penerimaan kotor perusahaan. Artinya, penerimaan ini jauh lebih kecil dibandingkan dari sektor minyak dan gas yang mencapai 55-60 persen.
Dalam laporan bulanan Policy Analysis, ReforMiner membuat kalkulasi, jika tingkat royalti 5 persen dari harga jual tambang atau penerimaan kotor, biaya produksi tambang 30 persen, dan Pajak Penghasilan Badan mengacu pada Undang-Undang Perpajakan, penerimaan negara dari pertambangan umum hanya 23,2 persen.
"Sementara itu, untuk migas, dengan mengacu pada rata-rata biaya investasi (cost recovery) sebesar 30 persen dari penerimaan kotor, rata-rata penerimaan negara bisa 55-60 persen," tulis laporan itu.
Karena itu, bila pemerintah ingin mengoptimalisasi penerimaan negara dari pertambangan umum, renegosiasi terhadap besaran royalti menjadi satu keharusan.
Mengenai besaran royalti yang akan direnegosiasikan, pemerintah seharusnya tak perlu ragu. Sebab, pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya bisa menjadi dasar kuat bagi pemerintah. Pasal itu berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hal yang lebih fundamental sesungguhnya adalah mengubah sistem konsesi kontrak karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) menjadi sistem kontrak bagi hasil, seperti yang diterapkan dalam pertambangan minyak dan gas. "Tentunya ini akan memberikan hasil yang jauh lebih optimal," kata ReforMiner.
Wajib Renegosiasi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pemerintah dan perusahan kontraktor wajib menyesuaikan aturan itu selambat-lambatnya satu tahun setelah peraturan itu diundangkan, yaitu pada 12 Januari 2009. Sayangnya, hingga akhir 2011, penyesuaian (renegosiasi) kontrak karya dan PKP2B belum juga selesai.
Isu strategis yang menjadi perhatian pemerintah terkait renegosiasi kontrak pertambangan adalah luas wilayah, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, dan kewajiban penggunaan barang/jasa pertambangan dalam negeri.
Perkembangan terakhir, berdasarkan jumlah kontrak, rincian dari status renegosiasi kontrak karya adalah setuju seluruhnya (24,32 persen), setuju sebagian (48,65 persen), dan belum setuju seluruhnya (27,03 persen). Sementara itu, status renegosiasi PKP2B adalah setuju seluruhnya (81,58 persen) dan sisanya setuju sebagian. (art)