Kisah Garuda Salah Langkah Ekspansi Rute
VIVAnews - Maskapai pelat merah, Garuda Indonesia telah melakukan transformasi secara besar-besaran sejak 2006 hingga saat ini. Transformasi besar-besaran ini telah mengubah wajah Garuda Indonesia menjadi flag carrier kebanggaan Indonesia.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, Emirsyah Satar mengungkapkan, pada 1995 hanya ada lima maskapai domestik dengan pangsa pasar Garuda Indonesia 32 persen. Sementara itu, pada 2005, maskapai domestik tumbuh menjadi 15 perusahaan penerbangan, dan membuat market share Garuda turun menjadi 24 persen.
"Pada saat itu, tumbuh maskapai baru seperti Lion Air dan Adam Air yang membuat market share kami turun," kata Emirsyah dalam seminar '4 Langkah Strategik' di Jakarta, Selasa 29 November 2011.
"Ditambah pemberitaan media terhadap Garuda saat itu negatif. Daily Telegraph menyebut Garuda salah satu maskapai dengan keamanan penerbangan terburuk," tambahnya.
Emirsyah melanjutkan, pada kurun waktu 1995-2005, Garuda Indonesia terus merugi. Hanya pada 1998, 2000, dan 2002, Garuda meraup untung. Sekitar 85 persen rute Garuda Indonesia pada waktu itu mengalami kerugian, karena waktu itu perseroan salah langkah dengan mengikuti ekspansi rute Lion Air yang menawarkan harga lebih murah.
"Kami waktu itu bersaing dengan Lion, yang lebih murah. Kami lupa, karena produk berbeda, ditambah Citilink posisinya tidak jelas, apa LCC (low cost carrier) atau bukan," katanya.
Emirsyah yang menjadi chief executive officer Garuda sejak 2005, kemudian melakukan pemetaan permasalahan Garuda. Antara lain struktur organisasi manajemen yang tidak berorientasi pada pasar. Manajemen pada waktu itu tidak berhubungan dengan rencana bisnis dan Key Performance Indicator (KPI).
Selain itu, tidak adanya kepercayaan antara manajemen dan orang lapangan serta produksi Garuda Indonesia yang besar, namun tidak diikuti oleh keuntungan.
"Saat itu, operational losses besar, cash flow negatif, dan high debt to equity ratio. Tidak ada kepercayaan antara staf lapangan dengan kantor pusat. Dulu, untuk perubahan harga harus seizin kantor pusat, karena kantor pusat tidak percaya dengan staf lapangan. Sebab, dikira permainan dengan travel, akibatnya saat izin turun pesawat sudah berangkat dengan kosong," ujarnya.
Garuda saat itu, Emir melanjutkan, juga memiliki tingkat on time performance sangat rendah. Terlalu banyak tipe pesawat yang sudah berumur membuat biaya perawatan rendah.
Padahal, bisnis pesawat adalah mengutamakan keamanan dan ketepatan waktu. Maka sejak 2006, Garuda membuat bisnis model baru yang memecahkan jarak dan membangun kepercayaan antara manajemen pusat dengan orang lapangan.
"Manajemen memuat aturan empowered dengan parameter-parameter tertentu dan diaudit, sehingga akan ketahuan yang bermain, kami take action dengan pecat. Direksi setiap kuartal turun ke bawah, men-share apa yang kami lakukan dengan pekerja lapangan," ujarnya.
Garuda Indonesia juga mencanangkan tidak ada zona nyaman. Setiap pegawai harus bekerja keras dan berlari kencang. Garuda mengubah visi dan misinya dari sekadar bisnis transportasi udara menjadi travel service business dengan menyediakan kualitas untuk memberikan kenyamanan dengan keramahtamahan khas Indonesia.
"Karena bagi penumpang pesawat, harga tiket itu ketujuh. Pertama itu aman, kedua sesuai tidak dengan nilai yang ia bayar. Masyarakat Indonesia itu berani membayar lebih, jika mendapatkan service yang bagus," kata Emir.
Pada 2006, Garuda juga mengembalikan 10 pesawat atau 28 persen dari kapasitas pesawat Garuda Indonesia. "We cut the losses dan menurunkan cash flow negatif dengan menutup rute-rute yang merugi," tuturnya.
Emirsyah juga mengungkapkan, rencana bisnis yang telah disusun dijalankan dengan disiplin. Selain itu, restrukturisasi Garuda Indonesia berlangsung manis. Sebab, sejak 2007 hingga saat ini keuangan Garuda telah positif. Bahkan, pada 2010, Garuda berinvestasi besar-besaran dalam membeli pesawat.
"Investasi pesawat dilakukan sebelum IPO (penawaran umum perdana saham), sehingga setelah IPO, hasil dari investasi sudah mulai terlihat," katanya. (art)