BI: Perbankan RI Kalah Efisien di ASEAN
VIVAnews - Bank Indonesia menilai perbankan di Indonesia belum beroperasi secara efisien jika dibandingkan bank-bank di Asia Tenggara. Meski demikian, bank-bank di dalam negeri lebih mampu menghasilkan keuntungan (profitable) dan menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent).
"Ini adalah ciri suatu keseimbangan semu di industri perbankan kita," kata Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, dalam sambutannya pada seminar bertajuk 'Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012: Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi' yang diselenggarakan INDEF, di Mezzanine Ballroom, Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu 30 November 2011.
Perbankan Indonesia, Darmin mengatakan, sangat profitable yaitu mampu menghasilkan keuntungan paling besar di antara negara-negara di Asia Tenggara. Pada September 2011, tingkat return on asset (ROA) industri perbankan di Tanah Air mencapai 3,11 persen atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan.
"Rata-rata ROA di lima negara ASEAN pada 2007-2010 hanya mencapai tingkat keuntungan sebesar 1,14 persen," kata dia.
Dia menambahkan, industri perbankan Indonesia, juga sangat prudent yaitu tercermin dari rasio kecukupan modal (CAR) perbankan yang mencapai 16,7 persen dan rasio non performing loan (NPL) yang hanya 2,7 persen gross pada September 2011.
"Namun, tingkat efisiensi perbankan Indonesia sangat tinggi, tercermin dari rasio BOPO (Biaya Operasional/Pendapatan Operasional) yang mencapai 87,22 persen," ungkapnya.
Sebagai perbandingan, lanjut Darmin, rasio BOPO perbankan di kawasan ASEAN berada antara 40-60 persen, sehingga ketidakefisienan ini memberikan kontribusi pada penetapan suku bunga kredit yang tinggi.
"Tidak kita pungkiri bahwa fungsi intermediasi memang berjalan. Ekspansi kredit pada 2011 mencapai 25,3 persen year on year, dan loan to deposit ratio (LDR) meningkat dari 75,5 persen pada 2010 menjadi 81,7 persen pada September 2011," ujarnya.
Namun, proses intermediasi itu berjalan dengan beban ongkos yang mahal bagi perekonomian, sedangkan debitor tidak memiliki banyak pilihan dari sumber pembiayaan lain.
Untuk itu, menurut dia, penurunan suku bunga acuan (BI Rate) yang berimbas ke suku bunga kredit akan tertransmisi secara efektif apabila bank beroperasi secara efisien.
Langkah Strategis
Sementara itu, untuk membendung risiko dari gejolak pasar keuangan global dan mengantisipasi rambatan pelemahan ekonomi di negara maju, BI juga telah mengambil langkah-langkah strategis.
"Pertama, meningkatkan intensitas monitoring, baik terhadap pasar keuangan maupun ketahanan perbankan dalam menghadapi pasar keuangan," kata dia.
Menurut dia, monitoring ketat terhadap kondisi likuiditas di pasar antarbank sangat penting karena krisis keuangan pada umumnya diawali dengan tekanan nilai tukar dan keketatan likuiditas di pasar antarbank, yang disertai dengan melonjaknya suku bunga pasar.
"Kedua, mempersiapkan PMK (protokol manajemen krisis) dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis," ungkapnya.
PMK BI ini, Darmin melanjutkan, terus dikomunikasikan dengan PMK instansi lainnya. Pengalaman menunjukkan bahwa penanganan krisis sering menelan biaya ekonomi dan sosial yang sangat besar serta waktu pemulihan yang lama.
Untuk itu, kata Darmin, dalam upaya memperkuat stabilitas moneter dan sistem keuangan, Indonesia memerlukan adanya suatu pedoman dan payung hukum yang mengatur proses pencegahan dan penanganan krisis secara sistematis dan terintegrasi.
"PMK yang dimiliki BI dan pemerintah perlu didukung oleh adanya Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan," kata dia.
Ketiga, menurut dia, melakukan 'operation twist' di pasar valuta asing dan Surat Berharga Negara. Melalui mekanisme ini, BI memasok valas dan menyerap rupiah dan selanjutnya menggunakan rupiah itu untuk membeli SBN di pasar sekunder.
"Operation twist ini memberikan manfaat, terutama menstabilkan kurs dan harga SBN serta menambah akumulasi stok SBN di BI yang digunakan untuk operasi moneter," katanya.
Keempat, Darmin mengatakan, menurunkan BI Rate dari 6,75 persen menjadi 6,0 persen dalam dua kali rapat dewan gubernur. Keputusan ini memiliki landasan fundamental yang cukup kuat yaitu keyakinan bahwa inflasi akan menurun, perlunya memperkuat basis permintaan domestik dalam mengantisipasi perlambatan ekonomi global.
"Dan memperbaiki struktur bunga atau yield curve," kata Darmin.
Menurunnya suku bunga, Darmin menambahkan, yang disertai peluang peningkatan credit rating menjadi investment grade juga diharapkan dapat lebih memperbaiki kualitas arus modal masuk ke Indonesia. "Menjadi ke arah yang lebih produktif dan jangka panjang," tutur Darmin.(art)