Haji Asiwa, Juragan Batik Cirebon
VIVAnews - Jalan Panembahan, Plered, Cirebon, saat ini dikenal sebagai salah satu pusat penjualan batik di Cirebon. Asiwa, merupakan salah satunya.
Pemilik toko batik "Jaya Abadi" ini menuturkan perkembangan batik di Cirebon dimulai sejak 1990. Walaupun belum sepopuler batik Pekalongan, Batik Cirebon sudah mendapat tempat khusus karena keunikan motifnya yang berwarna cerah dan sederhana. Salah satu motif yang terkenal adalah megamendung, bentuk gumpalan-gumpalan awan.
Motif yang sederhana dan berwarna cerah itulah, kata Asiwa, yang saat ini banyak disukai orang. Batik Cirebon masuk dalam klasifikasi batik pesisir yang motifnya lingkungan seperti hewan dan tumbuhan dipadu oleh motif keraton Kasepuhan dan Kanoman.
"Batik Cirebon mulai ngetop pada 1990an, warga mulai ramai membuka showroom di pinggir jalan," katanya saat ditemui VIVAnews.com akhir pekan lalu. Ia mengaku mulai terjun ke dunia batik pada 1975, meneruskan usaha orangtuanya.
Pada 1975, batik Cirebon belum setenar sekarang. Ia berjualan berminggu-minggu keliling. Ia keliling ke Kuningan, Garut, Tasik, Jakarta, Ciamis, Bali, bahkan hingga Sumatera Utara untuk memasok toko-toko di sana.
Pada 1980 Asiwa bertemu salah satu konglomerat Indonesia, Abdul Latief, di Sentra Industri Pulogadung. Ia bercerita Abdul Latief yang saat itu belum menjadi menteri menawarkan agar batik-batik yang ia jual masuk ke Pasaraya, mal milik pengusaha itu. Mulai saat itu, batik-batik buatannya mulai masuk mal-mal di ibukota.
Tidak hanya memasok ke mal-mal, batik-batik buatannya juga masuk ke toko-toko batik besar seperti Batik Danarhadi, Batik Semar, dan Batik Kencana Ungu. Setiap bulan, dia juga mengirim batik-batik ke daerah seperti Jambi, Sumatera Barat, Denpasar, Ujung Pandang, Banjarmasin, Medan, Bukittingi, Padangsidempuan, dan lain-lain.
"Ke Bali saja bisa kirim 2-3 ribu lembar, satu lembar 2 meter dengan harga 70 ribu," kata pria kelahiran 13 Juli 1956 ini.
Bahkan pada 1995 lalu, batik buatannya ini mampu menembus pasar mancanegara seperti Thailand, Vietnam, dan Kamboja. Batik-batik laku di negara tersebut karena banyaknya penganut muslim, batik di negara tersebut digunakan untuk sarung. Namun ekspor batik tersebut berakhir di penghujung tahun 1990-an karena diterpa krisis ekonomi dan konflik muslim di negara-negara tersebut.
Saat ini wisatawan asing yang sering ke Cirebon berasal dari Jepang, dengan siklus 3 bulan sekali. Wisman asal Jepang ini lebih menyukai batik berbahan katun dibandingkan sutra. "ya ingin sih ekspor lagi, tapi sekarang wisatawan asing sudah banyak ke sini," kata kakek empat cucu ini.
Usahanya terus berkembang hingga saat ini ia memiliki 15 pegawai dan ratusan pengrajin batik binaan. Ia memberikan modal kepada pengarajin yang tidak mampu berupa kain motif dan alat batik. Hasilnya lalu ia beli dan pasarkan melalui toko ataupun ia kirim ke daerah-daerah.
"Saya sudah kenyang membatik, sekarang tinggal mengatur orang. Saat ini saya lebih memberikan modal ke orang lalu saya pasarkan, lalu kalau sudah sukses saya kasih bahan lagi ke orang lain,"katanya.
Atas jerih payahnya, ia berhasil menyekolahkan tiga anak hingga sarjana di Universitas Trisakti. Dua anaknya pun telah mengikuti jejak dirinya berusaha batik dengan membuka toko batik di lokasi yang tidak jauh dari lokasi tokonya, yaitu "Batik Selsa" dan "Batik Nadine".
Anak terakhirnya baru lulus dari Universitas Trisakti jurusan Geologi, juga akan mengikuti jejaknya membuka toko batik. "Batik sudah mendarah daging, anak ketiga baru lulus kuliah rencananya buka toko batik lagi karena kerja kantoran juga susah," katanya. (eh)