"Kami Ingin Suara Pilot Didengar"
VIVAnews - Para pilot PT Garuda Indonesia Tbk yang tergabung dalam Asosiasi Pilot Garuda (APG) melakukan aksi mogok selama setengah hari pada Kamis 28 Juli 2011. Mereka memandang telah terjadi kekeliruan pengelolaan perusahaan di maskapai nasional tersebut.
APG menilai kebijakan penambahan jumlah pesawat tidak diimbangi dengan jumlah pilot yang memadai, sehingga manajemen merekrut pilot asing.
Penambahan itu juga dituding menyebabkan jadwal pilot abnormal, karena penerbangan mereka menjadi sangat padat. Kondisi tersebut dinilai APG dapat membahayakan keselamatan penerbangan karena kondisi pilot menjadi lebih mudah lelah.
Selain itu, manajemen Garuda diduga bersikap diskriminatif terkait sistem remunerasi antara pilot asing dan pilot domestik Garuda. Diskriminasi itu dinilai menyebabkan ketimpangan antara pilot asing dan domestik.
Aksi mogok akhirnya ditempuh APG, karena mereka kecewa dengan manajemen Garuda. Sebab, aspirasi yang disampaikan dalam beberapa kali pertemuan tidak mendapat respons positif.
Meski demikian, dengan difasilitasi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Mustafa Abubakar, aksi mogok pilot Garuda akhirnya berakhir sekitar pukul 13.00 WIB kemarin. Manajemen Garuda dan APG selanjutnya akan bertemu pada bulan puasa mendatang untuk mencari solusi terbaik.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai latar belakang aksi mogok dan harapan ke depan, wartawan VIVAnews.com, Ronito Kartika Suryani, mewawancarai Presiden APG, Kapten Stephanus Gerardus Rahadi di Pilot House yang berada di kawasan kantor Garuda Operation Center, Bandara Soekarno-Hatta, Tanggerang, Kamis, 28 Juli 2011.
Bagi Stephanus, aksi mogok terbang itu merupakan langkah terakhir yang ditempuh pilot setelah sejumlah pertemuan yang diharapkan bisa menjadi perundingan dan ajang mendengarkan aspirasi gagal total.
Aksi tidak mau menerbangkan pesawat Garuda itu sebagai bentuk kekecewaan para pilot terhadap manajemen yang tidak bersedia mendengarkan aspirasi mereka sebelumnya.
Berikut ini kutipan wawancara tersebut:
Apa sebenarnya yang memotivasi APG mogok kerja?
Motivasi itu semuanya berawal dari kebijakan-kebijakan yang kurang tepat atau keliru, yang kami rasakan. Sebab, kami ini kan orang lapangan yang merasakan langsung.
Banyak kebijakan-kebijakan yang sangat mendesak kami, terutama mengenai peraturan-peraturan. Habis itu, masalah PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Itu terasa sekali sangat memenuhi kepanikan manajemen.
Kenapa panik?
Karena ada kesalahan manajemen. Selama ini, membeli pesawat tapi tidak memperhitungkan armada dan sumber daya manusia itu sendiri.
Seperti itu, manajemen panik, yang penting asal jalan. Nah, ini menimbulkan keresahan di teman-teman. Contohnya yang tadi, penghasilan yang berbeda. Berbedanya itu bukan hanya dari nilai, tapi kalau mengacu kepada range of order itu kan mestinya ada jenderal.
Semuanya ini menyebabkan overlapping. Mestinya hal ini bisa diantisipasi manajemen, supaya tidak ada yang tertahan. Nah, itu yang menyinggung kami sebagai anak bangsa, kenapa kami ini dibedakan dengan mereka yang berkulit putih.
Tapi, kalau bicara masalah gaji, manajemen yang diwakili Direktur Operasi Garuda Indonesia, Ari Sapari mengaku gaji pilot lokal per tahun lebih besar dibanding asing. Sampai ada ilustrasi simulasi penggajian penerbang pilot lokal dan asing? Bagaimana pendapat Anda?
Mestinya, kalau ada indikasi ini kan apple to apple. Yang ada, kebiasaannya kan gaji maksimum berbanding gaji maksimum. Nah, yang saya lihat kan, minimum dengan minimum.
Satu lagi, cross fungsi. Seorang copilot apapun 'bentuknya', seorang front officer, setinggi-tingginya dia tidak boleh melampaui pendapatan kaptennya dong...ya nggak?
Gaji seorang jenderal harus lebih tinggi dari letnan jenderal, setuju nggak? Karena pangkatnya. Karena seorang front officer dan kapten kan sama, karena tanggung jawabnya lebih besar, otomatis penerimaannya lebih besar.
Nah, ini yang terjadi. Tidak karena dia kulit putih, jadi lebih besar. Lebih dalam dari itu, suasana kerja juga sudah tidak bagus.
Suasana kerja seperti apa yang Anda maksud?
Bayangkan saja, kalau Anda punya rekan kerja yang baru masuk, tapi penghasilannya lebih besar, enak nggak kerja kayak gitu? Yang salah siapa dong? Manajemen dong. Nah, suasana itu ada di kokpit. Ya kan, yang setiap hari kami ketemu kerja, apa nggak bahaya kayak gitu?
Kesepakatan awal, pemogokan hanya di Jakarta. Kenapa bisa sampai ke daerah, sudah ada kesepakatan awal atau memang bentuk solidaritas?
Nggak, memang semuanya berjalan sesuai dengan instruksi yang kami katakan. Memang kami harus down flight. Tetapi karena ada sesuatu hal, atas dasar kebesaran, kami harus mengubah taktik. Kalau tidak, perjuangannya akan sia-sia.
Kemudian, awalnya kan ancaman pemogokan pilot, kenapa menjadi pemogokan penerbangan?
Berubah atau tidak, itu urusan kami. Pada tanggal 28 Juli itu memang akan mogok semuanya.
Jika pascapemogokan masih tetap ada diskriminasi bagaimana?
Tadi dikatakan --dalam pertemuan dengan Menteri BUMN dan manajemen Garuda-- itu nanti tidak ada, kami lupakan yang kemarin. Kami lihat ke depan. Saya tegaskan tidak ada diskriminasi, pecat-memecat, dan sebagainya.
Apa hasil kesepakatan pertemuan dengan Menteri BUMN dan manajemen Garuda?
Ada empat item. Pertama, masalah komunikasi, bukan kesepakatan tapi hal-hal yang akan dibicarakan. Yang ada, kesepakatan untuk berunding kembali. PKB (Perjanjian Kerja Bersama), PKWT asing, dan terakhir travel
loans.
Kenapa Garuda Indonesia memakai pilot asing, apa SDM tidak memadai?
Berkali-kali saya bilang, tambahan armada mau nggak mau ambil pilot asing. Lalu, pilot asing maunya berlaku market price. Nah, ini yang harus ditata jangan sampai menyinggung yang lain-lain. Penataan harus sempurna mungkin. Jangan sampai overlapping. Intinya itu.
Sebenarnya, apakah pilot asing itu diperlukan Garuda?
Kalau segala sesuatunya bisa dikerjakan sendiri, kenapa harus dari asing.
Manajemen Garuda mengatakan, kalau tidak ada pilot asing akan susah untuk akselerasi naik jabatan?
Semua itu bisa diatur. Memang benar akan terjadi akselerasi. Tetapi, kalau itu bisa ditata dengan baik, itu bisa diindahkan. Pilot-pilot asing itu sebetulnya untuk hal-hal yang lebih mendasar. Kenapa nggak ditanya pilot Indonesia? Kenapa asing? Apa Indonesia nggak ada pilot? Sedangkan pilot-pilot Indonesia banyak, kenapa nggak dididik saja langsung.
Tanggapan DPR, ada ketidakseimbangan antara industri penerbangan dengan SDM. Apalagi, sifat pilot asing hanya sementara. Sembari asing bekerja, lokal belajar. Ketika kontrak asing habis, pilot lokal kembali untuk meningkatkan penerbangan. Apa pendapat Anda?
Ya, itu sih, it's ok saja. Tapi, lebih pada penataan, harus ada pemerataan yang benar dan jangan sampai ada yang tersinggung. Sebab, kalau tidak, apalah artinya hidup di Indonesia ini. Hampa. Orang asing yang diturunkan atau orang Indonesia yang ditinggikan, memang harus ditata satu-satu. Asal jangan menyinggung.
Kalau tuntutannya mentok, tidak ada jalan keluar, apakah ada rencana
mogok lagi?
Kami lihat nanti, saya nggak bisa bicara sekarang.
Kalau boleh tahu, apa harapan APG?
Harapannya, suara kami bisa didengar. Mari berunding dengan baik-baik, jangan berpikir menang atau kalah. Kita berpikir mencari solusi. (art)