Kalah dari China, Ini Alasan Menperin
VIVAnews - Pemerintah menyatakan derasnya barang-barang impor menuju Tanah Air dari China terkait perjanjian perdagangan bebas ASEAN dan China ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) disebabkan Indonesia tidak memiliki rencana strategis dalam mengantisipasi kebijakan ini.
Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia, sehingga membuat produk-produk China mendominasi pasar.
Menurut Menteri Perindustrian, MS Hidayat, kualitas barang-barang produksi Indonesia sebetulnya tidak kalah dari barang impor China. Namun, kebijakan China dalam sistem perpajakan ekspor yang mendapat potongan justru membuat daya saing produk negeri Tirai Bambu tersebut lebih tinggi.
"Implikasinya terlihat dari net impor dari China pada 2009 sebesar US$4,6 miliar dan meningkat menjadi US$5,6 miliar pada 2011. Hal ini membuat defisit perdagangan menjadi sebesar US$2,7 miliar," ujar MS Hidayat saat mengisi seminar bertajuk 'Kajian Tengah Tahun Indef 2011' di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis 28 Juli 2011.
Murahnya harga-harga barang dari China, ujar Hidayat, membuat konsumen menengah ke bawah lebih memilih produk dari Negeri Tirai Bambu itu. Beralihnya konsumen domestik ke barang-barang impor China membuat sektor industri dalam negeri gigit jari, sehingga sulit berkembang. "Karena profit margin-nya (produk China) lebih tinggi," tuturnya.
Beberapa hal lain yang membuat sektor industri China lebih berkembang dibanding Indonesia adalah suku bunga perbankan. Pelaku industri di China umumnya memperoleh suku bunga jauh lebih rendah dibanding Indonesia.
"Suku bunga China sebesar 5,5 persen dan Indonesia 14 persen, ini menjadi penyebab sektor industri tidak berkembang," imbuhnya.
Meskipun pemerintah telah mendorong industri manufaktur, dia melanjutkan, perkembangan sektor industri masih sulit terwujud karena beberapa faktor penghambat yang sulit dihilangkan. Faktor penghambat itu antara lain peraturan perburuhan, kondisi infrastruktur belum memadai, jaminan ketersediaan energi, dan bahan baku.
"Serta terbatasnya modal investasi dan masalah logistik," tuturnya.
Industri Tumbuh
Kendati mengaku masih kalah dari produk China, Hidayat menyatakan Indonesia saat ini tengah memasuki kembali masa re-industrialisasi atau pertumbuhan sektor industri.
Indikator re-industrialiasasi ini terlihat dari kontribusi sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB), tren pertumbuhan investasi, dan nilai ekspor hasil industri.
Hidayat mengungkapkan sektor industri non migas merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi yang berkontribusi sebesar 21 hingga 23 persen dalam lima tahun terakhir. Diikuti oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan.
Sementara itu, untuk realisasi investasi, tercatat penanaman modal dalam negeri (PMDN) sepanjang lima tahun terakhir meningkat dari Rp13 triliun pada 2006 menjadi Rp25,6 triliun pada 2010.
“Meski harus diakui realisasi PMA sedikit turun dari US$3,6 miliar pada 2006 menjadi US$3,4 miliar pada 2010,” tuturnya.
Dia menambahkan, produk industri mengalami peningkatan ekspor cukup signifikan dari US$64,9 juta pada 2006 menjadi US$98 juta pada 2010, atau tumbuh sebesar 51 persen. (art)