Peringkat Berusaha RI Turun, BKPM Sentil DKI
VIVAnews - Survey Doing Business 2011 oleh International Finance Corporation menempatkan Indonesia di peringkat ke-121 dari 183 negara. Peringkat tersebut turun dari posisi ke-115 pada tahun sebelumnya.
Peringkat tersebut masih di bawah negara-negara ASEAN lainnya yakni Singapura (peringkat 1), Thailand (19), Malaysia (21), dan Vietnam (78).
Survei tersebut menjadikan DKI Jakarta sebagai barometer dari kemudahan berusaha secara nasional. Indikator yang disurvei ada sembilan yakni, memulai usaha, menutup usaha, mendaftarkan properti, membayar pajak, melindungi investor, perdagangan lintas batas, perizinan konstruksi, mendapatkan pinjaman, dan pelaksanaan kontrak.
Selain survei nasional, IFC juga telah melakukan survei subnasional 2010 terhadap 14 kota di Indonesia termasuk Jakarta. Tiga indikator yang menjadi acuan adalah perizinan konstruksi, mendaftarkan properti, maupun memulai usaha. Dapat dilihat bahwa dengan survei subnasional itu, 14 kota di Indonesia dapat dibandingkan peringkatnya dengan sekitar 266 kota di 36 negara lainnya di dunia.
Menanggapi survei tersebut, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Gita Wirjawan, mengungkapkan, peringkat Indonesia sebenarnya dapat menjadi lebih baik bila dilakukan perbaikan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
"Bila ada perbaikan di DKI Jakarta, akan berdampak positif ke peringkat Indonesia secara keseluruhan," kata Gita dalam keterangan tertulis yang diterima VIVAnews.com di Jakarta, Rabu 25 Mei 2011.
Menurut Gita, DKI Jakarta bisa belajar dari kota-kota lain di Indonesia. Jika mengacu kepada hasil subnasional doing business Indonesia 2010, peringkat Jakarta masih tertinggal dengan kota atau daerah lain. Yogyakarta misalnya, hanya mempunyai delapan prosedur untuk perizinan konstruksi, dibanding Jakarta dengan 14 prosedur. Kondisi itu menempatkan Yogyakarta di peringkat ke-5 dunia.
Contoh lain adalah Makassar yang mempunyai waktu penyelesaian perizinan konstruksi hanya 56 hari, sedangkan Jakarta 160 hari. Makassar berada di peringkat ke-9.
Sementara itu, dalam hal waktu untuk mendaftarkan properti, Manado hanya memerlukan 12 hari, dibanding Jakarta 22 hari. Peringkat Manado di urutan 24 dunia.
Selanjutnya, Semarang dalam hal biaya untuk perizinan konstruksi hanya membutuhkan 107,6 persen dari pendapatan per kapita. Sementara itu, biaya perizinan konstruksi di Jakarta mencapai 194,8 persen. Semarang menempati peringkat ke-78 dunia.
Untuk Yogyakarta, Palangkaraya, dan Surakarta dalam hal prosedur memulai usaha hanya memerlukan delapan prosedur, dibanding Jakarta sembilan prosedur. Kondisi ini menempatkan ketiga kota itu pada peringkat ke-93 dunia.
Sementara itu, waktu diperlukan memulai usaha diperoleh Yogyakarta dan Bandung dengan hanya 43 hari kerja, dibanding Jakarta 60 hari kerja. Yogyakarta dan Bandung berada di peringkat ke-143 dunia.
"Apabila DKI Jakarta belajar dan meniru kota-kota tersebut, peringkat Indonesia secara keseluruhan bisa menjadi 104 dari 183 negara. Ini kenaikan yang signifikan," ujarnya.
Untuk jangka pendek, perbaikan nasional "doing business", DKI Jakarta tidak perlu membuat perubahan yang terlalu besar, tapi cukup meniru dan menjalankan “local best practices” dari kota-kota lain di Indonesia.
Permasalahan yang dihadapi di DKI Jakarta terkait juga dengan masih ditanganinya perizinan, khususnya dalam hal penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan dan Tanda Daftar Perusahaan di masing-masing suku dinas yang menanganinya, serta belum sepenuhnya diproses di Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
"Meski Pemerintah Daerah DKI Jakarta sudah bertekad untuk menyelesaikan perizinan SIUP dan TDP dalam waktu tiga hari, namun pelaksanaannya belum berjalan semestinya," tuturnya. Jangka panjang, Gita melanjutkan, diperlukan perubahan peraturan daerah untuk menyempurnakan pelayanan perizinan demi mewujudkan kemudahan berusaha.