Kenapa Investasi Deposito Makin Tak Menarik
VIVAnews- Deposito jaman dulu pernah menjadi primadona dalam berinvestasi. Namun agaknya tidak berlaku di jaman sekarang.
Deposito menjadi primadona semenjak krisis moneter 1998 karena pemerintah masih memberlakukan program penjaminan secara penuh. Deposito juga dianggap menguntungkan karena mampu mengalahkan inflasi dan lebih tinggi dari investasi pasar modal.
Dalam Catatan Akhir Tahun 2010 yang ditulis Bahana TCW Investment Mangement, keyakinan itu terus menurun sehingga tidak dapat diandalkan melawan inflasi terutama terkait komoditas makanan dan pendidikan. Peragaan Bahana menunjukkan indeks kapitalisasi deposito selama 10 tahun terakhir masih kalah dengan inflasi pendidikan dan inflasi makanan.
"Sangat sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa deposito tidak menjamin kesejahteraan. Deposito boleh jadi hanya cocok untuk orang yang sangat kaya, yang tidak peduli nilainya tergerus oleh inflasi," tulis Bahana.
Lantas mengapa deposito semakin sulit diandalkan?
Pertama, pemangkasan subsidi BBM
Hal ini menimbulkan inflasi dan mendorong suku bunga naik. Namun, keputusan berat itu justru meningkatkan kepercayaan investor, terutama asing. Sebab mereka menyakini peningkatan kemampuan pemerintah membayar kewajiban bunga dan pokok yang jatuh tempo. Hal ini tercermin dari lonjakan kepemilikan asing surat utang negara yang menunjukkan ada arus masuk modal asing.
Kelebihan itu disimpan di dalam SBI yang ongkosnya menjadi beban Bank Indonesia. Hal ini membuat BI enggan menaikkan bunga terlebih bila rupiah menguat yang menurunkan risiko inflasi. Selama saldo SBI ini masih tinggi, bank relatif kurang membutuhkan dana masyarakat seperti tercermin pada relatif rendahnya suku bunga deposito. Itu sebabnya bunga deposito tetap rendah.
Kedua, krisis keuangan global 2008.
Krisis membuat peningkatan daya tarik obligasi pemerintah. Negara maju telah meningkatkan posisi utang, dan memperburuk risiko gagal bayar. Adanya stimulus yang digelontorkan negara maju juga membuat Indonesia lebih menawan. Kelebihan likuiditas yang disimpan perbankan dalam bentuk SBI terus menggunung. Bila setiap tahun perbankan mampu menyalurkan kredit sebesar Rp 160 triliun, "maka boleh jadi suku bunga deposito akan terjaga rendah hingga tahun depan," tulis Bahana.