Anggito: BI Tak Perlu Intervensi Rupiah
VIVAnews - Bank Indonesia (BI) seharusnya tidak perlu terlalu banyak menguras energi dengan melakukan intervensi terhadap penguatan rupiah.
Selain memerlukan ongkos moneter yang besar, intervensi juga akan menimbulkan ekspektasi inflasi.
Penilaian tersebut disampaikan Ekonom Unversitas Gadjah Mada, Anggito Abimanyu, dalam Forum Diskusi Forkem di Kantor Kementerian Koordinator
Perekonomian, Jalan Wahidin, Jakarta, Kamis 30 Desember 2010.
Anggito menuturkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga saat ini masih kompetitif dan cenderung terus menguat. Penguatan nilai tukar rupiah sejak Januari hingga November 2010 mencapai 5,06 persen.
Dengan rata-rata apresiasi 7,7 persen, level aman rupiah diperkirakan di posisi Rp8.750 per dolar AS. "Jadi, untuk apa BI berkorban mati-matian mempertahankan rupiah di level Rp9.000 per dolar AS," katanya.
Terkait kuatnya intervensi BI pada beberapa bulan terakhir, Anggito justru mengkhawatirkan rupiah akan banyak beredar di pasaran. Kondisi itu diperkirakan membuat ekspektasi inflasi meningkat.
Anggito juga menilai, cadangan devisa yang diperkirakan menembus US$100 miliar sudah memasuki level "melampaui batas aman".
Untuk itu, BI dan pemerintah seharusnya memikirkan upaya menggunakan cadangan devisa yang besar tersebut pada instrumen jangka panjang. "Jangan hanya digunakan untuk menahan laju nilai tukar rupiah saja atau self insurance," katanya.
BI seharusnya, Anggito melanjutkan, mulai berpikir untuk memanfaatkan cadangan devisa guna pembiayaan jangka panjang melalui skema pembiayaan yang sudah ada di Indonesia. Langkah lebih maju lagi adalah Indonesia ikut menyimpan dananya dalam bentuk kerja sama ASEAN +3, Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM), Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF), dan infrastructure fund.
"Tidak perlu mencari skema lain yang masih belum siap, seperti Bond Stabilization Fund atau Tax Capital Inflow," ujar Anggito.
Instrumen jangka panjang lainnya adalah mendorong pelaksanaan penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun variasi penerbitan obligasi.
Anggito juga menilai, Indonesia sampai saat ini belum mampu memanfaatkan masuknya arus modal asing (capital inflow) ke Tanah Air. Padahal, jika melihat peluangnya relatif lebih besar dibandingkan risiko yang dihadapi.
Peluang yang dimaksud adalah penurunan biaya bunga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sumber investasi swasta, pembiayaan foreign direct investment (FDI), serta kedalaman pasar modal.
Sementara itu, risiko yang dihadapi adalah terjadinya pembalikan dana asing, tekanan penguatan rupiah, serta gelembung (bubble) perekonomian. (art)