Pembatasan Kepemilikan di Mata Bankir Asing
VIVAnews - Kebijakan pembatasan kepemilikan asing di bank lokal di Tanah Air hendaknya disikapi secara bijak. Pemerintah bisa menjadikan argumen asas resiprokal sebagai alasan paling valid untuk bisa memberlakukan kebijakan pembatasan tersebut.
"Untuk resiprokal itu alasan yang valid, dan isu yang valid harus di-tackle. Saya melihat, jangan sampai kita seperti tahun 1997-an, di mana Indonesia dianggap sebagai Macan Asia, kita hebat, tahu-tahu malah jebol," ujar Chief Country Officer Citi Indonesia, Tigor M Siahaan, ketika berkunjung ke kantor redaksi VIVAnews.com, Rabu 7 Desember 2011.
Tigor mengatakan, Indonesia hendaknya berhati-hati dalam menerapkan kebijakan pembatasan kepemilikan oleh asing di perbankan dalam negeri. Bank Indonesia diharapkan sudah bisa menjawab sejumlah pertanyaan penting sebelum menerapkan kebijakan tersebut.
Pertanyaan yang dimaksud adalah apakah perbankan Indonesia akan menjadi solid jika investasi asing dibatasi masuk ke sektor keuangan itu. Kedua, apakah pembatasan kepemilikan asing dianggap bisa menjadi rambu-rambu peraturan di sektor perbankan akan semakin lebih baik.
Jika merunut pada sejarah kepemilikan asing di industri perbankan nasional, Tigor mengungkapkan, keterlibatan pemodal luar negeri dimulai ketika Indonesia mengalami krisis keuangan yang membuat industri perbankan nasional rontok.
Pada 1998, bank berjamur hingga ratusan. Namun, karena ada moral hazard dan pengelolaan yang buruk, hal itu membuat perekonomian nasional jatuh. "Setelah bank itu dibersihkan BPPN, hampir 99 persen dibeli oleh asing," kata Tigor.
Setelah 10 tahun berlangsung, Tigor menilai, kepemilikan investor asing di bank lokal telah membuat industri perbankan lebih profesional, good corporate governance lebih baik, serta pelayanan yang lebih bagus. Hal itu, menurut dia, telah mendorong sistem perbankan nasional menjadi lebih kuat.
"Kalau kita melihat, bahwa oke saja ada pembatasan kepemilikan asing, namun harus memperhatikan beberapa hal," kata Tigor. (art)