Mengapa Rupiah Perlu Disederhanakan
VIVAnews - Pelaku pasar valuta asing menyambut baik atas rencana Bank Indonesia menyederhanakan mata uang alias redenominasi rupiah. Pasalnya, dengan penyederhanaan itu, rupiah tidak lagi menjadi mata uang "sampah".
"Dengan redemoninasi, rupiah akan menjadi normal, bukan sampah lagi," kata analis valuta asing yang juga Direktur Currency Management, Farial Anwar, dalam perbincangan dengan VIVAnews.com, Senin 12 November 2011.
Farial menyebut mata uang "sampah" mengacu pada laporan Foxnews yang berjudul 10 the Worst Currencies. Adapun ke-10 negara itu adalah Zimbabwe (US$1 = 642 ribu triliun dolar Zimbabwe), Somalia (US$1 = 35 ribu shillings), Turkemanistan (US$1 = 24 ribu manat), Vietnam (US$1 = 16,975 dong), Sao Tome dan Principe (US$1 = 14.350 dobra), Indonesia (US$1 = 11.000 rupiah), Iran (US$1 = 10.100 rial), Laos (US$1 = 8.600 kip), Papua New Guinea (US$1 = 5.1000 kina), Paraguay (US$1 = 4.600 guarani).
Menurut Farial, di Zimbabwe, untuk membeli telur membutuhkan uang 35 miliar dolar Zimbabwe. Demikian juga Indonesia, meski tak separah Zimbabwe, bila bicara anggaran negara sudah mencapai ribuan triliun. "Ini susah menyebutnya," katanya.
Selain untuk penyederhanakan, menurut Farial, redenominasi juga akan menghemat percetakan uang. Saat ini, Farial mengatakan, Bank Indonesia perlu mencetak pecahan Rp50 - Rp100 ribu. "Ini sangat banyak," ujar dia.
Belum lagi dalam transaksi valuta asing, menurut Farial, saat ini rupiah diperdagangkan penuh, tidak ada hitungan sen. Bahkan kalau naik atau turun, sudah tidak lagi 1 atau 2 rupiah, melainkan 10 rupiah. "Pada 1995, masih ada hitungan sen," katanya. Tentu dengan disederhanakan, perdagangan rupiah di pasar valuta asing akan lebih hidup.
Karena itu, Farial termasuk orang yang setuju dengan usulan redenominasi rupiah. "Masak Indonesia disamakan dengan negara-negara yang susah dicari di peta," katanya.
Sementara itu pengamat ekonomi dari institute for Development Economic and Finance Indonesia (INDEF), Aviliani menegaskan bahwa pemerintah dan BI hendaknya meninjau kembali rencananya untuk segera mengajukan RUU redenominasi ke DPR.
Aviliani beralasan, di tengah situasi krisis ekonomi global yang ditandai dengan pelemahan ekonomi Amerika Serikat dan makin parahnya krisis utang luar negeri Eropa, pemerintah semestinya memikirkan upaya antisipasi Indonesia menghadapi ancaman tersebut.
"Saya rasa RUU redenominasi tidak mendesak, apalagi kondisi krisis global seperti saat ini," katanya. Rencana pemerintah yang ingin segera mengajukan RUU redenominasi, katanya, akan kontraproduktif dengan upaya mendongkrak perekonomian nasional. Pembahasan RUU justru akan membuat tambahan biaya anggaran negara yang sangat besar.
Pembahasan RUU redenominasi, lanjut Aviliani, idealnya baru digelar pada tahun 2012 atau 2013 mendatang. Sebab pada saat itu pemerintah dinilai sudah bisa mencegah dampak krisis ekonomi global yang melanda dunia.
"Kalau seolah-olah ingin cepat-cepat diselesaikan, nanti malah akan memancing kecurigaan. Jangan-jangan ada apa-apa dari upaya itu," ujar Aviliani yang mengaku mendukung kebijakan redenominasi nilai uang rupiah itu.
Selain itu proses penyederhaan itu juga jika tidak dijaga dengan ketat, akan membuat masyarakat cenderung membulatkan harga. Jika misalnya, harga barang akan rinci hingga hitungan sen, maka penjual akan cenderung membulatkan ke atas. Pada masyarakat di pedesaan, uang 50 rupiah juga masih berlaku. Penyederhanaan akan membinggungkan mereka (Baca: Imbas Redenominasi Bagi Rakyat Kecil)