Mengapa Produksi Minyak Indonesia Merosot
VIVAnews - Lembaga kajian pertambangan dan perminyakan ReforMiner Institute mengungkapkan alasan mengapa produksi minyak siap jual (lifting) cenderung turun dan bahkan tidak memenuhi target dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam Policy Analys, seperti dikutip VIVAnews.com, Kamis 29 Desember 2011, ReforMiner memperlihatkan adanya penurunan produksi minyak yang signifikan antara sebelum 2001 dan setelah 2002. Ini tak lain karena berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Perbedaan mencolok dalam undang-undang itu adalah diserahkannya pengelolaan dan pengawasan sektor hulu ke Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Sementara itu, pada Undang-Undang Prp Nomor 4 tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, pengelolaan dan pelaksanaan sektor migas nasional diserahkan kepada perusahaan atau badan usaha negara, dalam hal ini Pertamina.
Pada periode tersebut, pengelolaan hulu migas yang terkait dengan fungsi pelaksanaan dan pengawasan kontrak dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Kontraktor Asing yang kemudian berubah menjadi Badan Pembinaan dan Pengawasan Kontraktor Asing, yaitu suatu unit atau direktorat di Pertamina.
Sebagai perbandingan, ReforMiner mencontohkan perbedaaan antara sebelum dan sesudah Undang-Undang Migas tahun 2001 itu diberlakukan. Dari rata-rata produksi saja, misalnya, pada periode 1972-2001, pemerintah mencatat 1,48 juta barel per hari. Sementara itu, pada periode 2002-2010 hanya 1,0 juta barel.
Pada periode 1971-2001, terjadi peningkatan produksi rata-rata 1,16 persen per tahun. Sementara itu, pada 2002-201 justru terjadi penurunan rata-rata 2,86 persen. Anehnya, rata-rata posisi cadangan minyak juga turun dari 7,1 miliar barel (1971-2001) menjadi 4,3 miliar barel pada 2002-2010.
ReforMiner juga menyebut adanya sejumlah kelemahan dalam Undang-Undang Migas yang baru. Salah satunya, pemerintah, dalam hal ini menteri, memberi kuasa penuh kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama. "Secara tidak langsung pemerintah telah melepas aspek kedaulatan negara dalam penguasaan kekayaan alam yang dimiliki," tulis keterangan itu. "Mahkamah Konstitusi telah memutuskan pasal 12 ayat 3 UU Migas Nomor 22 tahun 2001 yang mengatur itu untuk direvisi."
Perubahan tata kelola hulu migas juga melahirkan beberapa ketentuan rancu, seperti ditugaskannya Badan Pelaksana untuk berkontrak dengan perusahaan migas, termasuk Badan Usaha Milik Negara, Pertamina. Menurut ReforMiner, Badan Pelaksana bukan entitas bisnis dan juga tidak memiliki wilayah pertambangan, tapi ditugaskan menandatangani kontrak bisnis dengan perusahaan migas.
Aturan rancu ini bisa membawa konsekuensi serius jika terjadi legal dispute dan dimenangkan kontraktor. Badan Pelaksana yang berstatus BHMN dan tak memiliki aset, secara logis yang akan disita adalah aset negara secara langsung. "Ini mengingat Badan Pelaksana bertindak untuk dan atas nama pemerintah."
Dari sudut kontraktor, pergeseran tata kelembagaan ini cenderung menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam kegiatan bisnis. Dalam kedudukan kontrak pengusahaan migas, karena berbentuk BHMN, Badan Pelaksana cenderung memposisikan diri sebagai pihak yang mengawasi. Sementara itu, kontraktor sebagai pihak yang diawasi. Akibatnya pendekatan yang digunakan untuk meningkatkan kinerja sektor hulu cenderung administratif, bukan bisnis. (art)