BPK: Audit Keuangan di Indonesia Ketinggalan
VIVAnews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai permasalahan utama dalam manajemen keuangan institusi pemerintah dan non pemerintah saat ini adalah rendahnya tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Wakil Ketua BPK, Hasan Bisri, dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa, 4 Oktober 2011 menilai, jika dibandingkan dengan BPK di negara lain, institusi negara tersebut kini sudah fokus untuk meningkatkan efisiensi karena tingkat kepatuhan yang sudah tidak bermasalah.
"Kondisi Indonesia itu masalah kepatuhan saja belum selesai. Jadi, penilaian BPK menekankan kepada apakah Laporan Pemerintah Pusat, BUMN, dan Pemda sudah sesuai ketentuan dengan perundang-undangan yang berlaku atau tidak atau tingkat kepatuhannya dulu," jelas Hasan Bisri.
BPK, ujar Hasan, saat ini baru akan mulai beranjak masuk menangani audit kinerja setelah tingkat kepatuhan suatu instansi sudah baik. Audit kinerja ini bertujuan sebagai proses efisiensi anggaran.
"Hal ini seperti di negara lain, di mana mereka sudah masuk kepada efisiensi, tidak lagi tingkat kepatuhan karena semua sudah patuh," tuturnya.
Masih banyaknya persoalan tingkat kepatuhan, dia menambahkan, menjadi permasalahan mendasar bagi keuangan negara di Tanah Air. Padahal, tingkat kepatuhan yang rendah akan menyebabkan kerugian negara.
"Banyak yang belum patuh terhadap perundang-undangan, sehingga banyak kerugian negara. Negara maju sudah lagi tidak berbicara itu, ikuti aturan saja kita belum selesai," pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, BPK menemukan 3.463 kasus ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan senilai Rp7,71 triliun. Temuan itu merupakan hasi laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I-2011.
Dari temuan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan senilai Rp7,71 triliun tersebut, pemerintah telah menindaklanjuti dengan penyetoran ke kas negara/daerah/perusahaan senilai Rp136,77 miliar selama proses pemeriksaan entitas yang diperiksa. (art)