KPI Soal Pengambilalihan Indosiar Oleh SCTV
VIVAnews - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan pandangan hukum kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Badan Pengawasan Pasar Modal (BAPEPAM) atas rencana aksi korporasi pengambilalihan saham PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) oleh PT Elang Mahkota Teknologi, Tbk (EMTK), induk usaha Surya Citra Televisi (SCTV).
Menurut KPI, pengambilalihan saham tersebut berpotensi menciptakan monopoli dan pelanggaran Undang-undang Penyiaran. "Kami melaksanakan tugas secara profesional berdasarkan legal standing kami karena KPI hanya membantu pengawasan pada infrastruktur penyiaran dan soal bisnis ini bagian dari infrastruktur. Jadi, kami punya komitmen moral untuk mengawal itu," kata Komisioner KPI Pusat, Mochamad Riyanto, pada VIVAnews.com di kantor KPI Pusat, Jakarta, Selasa, 7 Juni 2011.
Masukan KPI itu, antara lain rencana aksi korporasi EMTK mengambil alih keseluruhan saham milik PT Prima Visualindo di IDKM memungkinkan terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan bidang penyiaran yaitu Pasal 32 ayat 1 tahun 2002 huruf a Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (PP-LPS).
"Peraturan ini mengatur tentang pembatasan pemusatan kepemilikan dan penugasan LPS (Lembaga Penjamin Sosial) oleh satu orang atau satu badan hukum," ujar Riyanto. Dan pelanggaran pasal 34 ayat 4 UU Penyiaran. "Dalam pasal ini menyatakan pelarangan pemindahtanganan izin penyelenggaraan penyiaran," tambahnya.
Kedua, apabila terjadi aksi akuisisi ini KPI meminta Menteri Kominfo merespon dan melaksanakan kewenangannya berdasarkan UU dan PP tersebut. "Kewenangan Kominfo ialah memberikan persetujuan terhadap rencana tersebut. Kominfo, BAPEPAM dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) ini yang bisa membaca arah bisnis penyiaran itu sendiri," ujarnya.
Ketiga, terkait rencana ini KPI turut mengingatkan BAPEPAM untuk melaksanakan kewenangannya. "Kewenangan BAPEPAM ialah memberikan penilaian terhadap posisi bisnis dan investasi," tutur Riyanto.
Potensi pelanggaran yang dimaksud, Riyanto melanjutkan, ialah aksi pembelian saham tersebut berarti termasuk dalam memonopoli. "Potensi pelanggaran itu kalau penjual beli saham atau aksi korporasi mencapai di atas 50 persen, berarti memonopoli. Artinya, dia harus mengambil alih kepemilikan. Sesuai PP, tidak boleh diatur pengambil alihan atau tidak boleh ada pemusatan kepemilikan di dalam komposisi saham," tambahnya.