Indonesia Tak Punya Industri Penggandaan Film

VIVAnews - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan sampai sekarang Indonesia belum pernah memiliki industri penggandaan film. Padahal industri ini dibutuhkan untuk memperbanyak jumlah film yang akan diedarkan ke sejumlah bioskop di tanah air.
"Kalau dilihat bahwa film yang diimpor itu (dalam bentuk) master film. Terus kemudian dilakukan penggandaan. Di Indonesia, belum ada penggandaan," kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Jakarta, Jumat, 17 Juni 2011.
Agus mengatakan, Kemenkeu dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah berinisiatif untuk membuat peraturan bersama yang merevisi ketentuan mengenai pengenaan pajak impor film. Surat ini juga rencananya akan dikirimkan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Menkeu berharap surat keputusan bersama yang diikuti dengan revisi peraturan menteri keuangan (PMK) bakal lebih merangsang industri film, khususnya film impor menjadi lebih baik. Pemerintah juga berharap agar aturan baru ini bisa lebih manata industri perfilman agar bisa memberikan kesempatan kepala pelaku usaha lain untuk berbisnis di industri ini.
"Jadi jangan (monopoli) dong begitu. Kita harus bisa membuat iklim supaya ekonomi tumbuh," kata Agus.
Indonesia, lanjutnya, saat ini mempunyai 524 pemerintah daerah di seluruh wilayah di tanah air. Namun, dari jumlah tersebut, hanya beberapa ibukota kabupaten/kota yang sudah memiliki bioskop. "Yang penting, tidak akan mungkin industri itu bisa tumbuh berkesinambungan kalau pasokan filmnya dikuasai satu pihak," ujarnya.
Pada bagian lain, Kemenkeu kini sedang merekomendasikan kepada para produsen film untuk mendirikan kantor di Indonesia. "Idealnya eksportir-eksportir film itu nanti akan membuka perwakilan atau kantor di sini," kata Agus.
Idealnya, para produsen film asing tersebut menggalang kerjasama dengan membentuk perusahaan patungan (joint venture) bersama pengusaha Indonesia.
Sebelumnya diberitakan, Kemenkeu telah mendatangani PMK mengenai bea masuk impor film. Sistem baru berupa pengenaan bea masuk spesifik akan mewajibkan perusahaan untuk membayar tarif sebesar Rp21.000-22.000 per menit per copy untuk film yang akan masuk ke Indonesia.
Sebelumnya, keran film asing terbuka kembali setelah satu importir bermasalah membayar pokok tagihannya. Dirjen Bea Cukai, Agung Kuswandono, mengatakan satu perusahaan membayar tagihan sekitar Rp9 miliar.
Agung menjelaskan, tiga importir itu sebelumnya mengajukan banding. Hasilnya, mereka diharuskan membayar denda. Menurut dia, tiga importir film itu memiliki pasar sangat besar yaitu 90-95 persen sehingga terlihat menonjol.
Kementerian Keuangan juga pernah mengungkapkan kekurangan tambahan bea masuk yang harus dibayarkan importir film asing selama dua tahun terakhir mencapai Rp30 miliar berasal dari 1.759 copy film. Namun, tambahan kekurangan itu belum termasuk denda yang harus dibayar antara 100-1.000 persen. (eh)