DPR: Kartel Mainkan Tata Niaga Daging
VIVAnews - Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah segera mengevaluasi tata niaga daging yang terindikasi adanya praktik kartel dan mafia daging yang mengontrol harga daging. Praktik ini menyebabkan pemerintah tidak berdaya dan berdampak pada matinya industri peternakan sapi lokal.
"Adanya impor ini menjadi penyebab utama gagalnya peternakan sapi di Indonesia," ujar Wakil Ketua Fraksi PAN, Viva Yoga Muladi, dalam keterangan pers yang diterima VIVAnews.com di Jakarta, Jumat, 3 Juni 2011.
Menurut Viva Yoga, membanjirnya daging impor murah, terutama dari Australia, telah merusak tata niaga dan harga daging di tingkat lokal. Akibatnya, para peternak selalu merugi sehingga tingkat kesejahteraannya terus menurun.
Pada sisi lain, ujar Viva Yoga, selama ini Indonesia sangat sulit untuk mendatangkan impor sapi betina unggul dari Australia untuk dibudidayakan di Indonesia. Padahal, impor sapi betina diperlukan agar peternak bisa membudidayakan sapi dengan jumlah lebih banyak.
Untuk itu, pihaknya menganggap industri pemuliaan dan budi daya sapi lokal potong seperti sapi Bali, sapi Madura, dan sapi Aceh harus lebih diintensifkan menggunakan teknologi modern.
PAN juga meminta agar pemerintah segera menghentikan impor jeroan, daging sapi beku, sesuai rekomendasi Komisi IV DPR RI beberapa waktu lalu. "Menurut saya, Indonesia juga harus stop impor sapi dari Australia," kata dia.
Terkait penanganan penyembelihan ternak, Viva Yoga mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas rumah potong hewan yang terbukti mempraktikan proses penyembelihan yang tidak sesuai ketentuan.
"Penyiksaan terhadap sapi yang akan dipotong, di samping melanggar UU, tidak manusiawi, juga bertentangan dengan nilai agama," kata dia.
Selama ini, pemerintah sebenarnya sudah memiliki beragam produk hukum yang mengatur mengenai peternakan, di antaranya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengatur mengenai Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), RPH, dan kesejahteraan hewan (animal welfare), UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Peraturan Mentan Nomor 13 Tahun 2010 tentang Persyaratan RPH Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant).
Dalam pasal 66 UU Nomor 18/2009 disebutkan bahwa pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di RPH dan mengikuti cara penyembuhan yang memenuhi kaidah Kesmavet dan kesejahteraan hewan. Pemotongan dan pembunuhan hewan harus dilakukan sebaik-baiknya, sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiayaan dan penyalagunaan serta perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari penyiksaan.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah Australia menunda ekspor ternak sapi ke tiga rumah pemotongan hewan di Indonesia setelah ABC Australia menemukan gambar yang disebut berisi kekejaman atas sapi ekspor Australia itu. Rekaman kekejaman tersebut difilmkan oleh juru kampanye hak asasi binatang dan akan ditayangkan di program ABC's Four Corners.
Menanggapi hal itu, Kementerian Pertanian mengungkapkan RPH yang sudah memenuhi standar penyembelian sesuai ketentuan hanya berjumlah 290 unit atau 41,42 persen dari 700 RPH yang tersebar di seluruh Indonesia. Sementara itu, sisanya masih belum memenuhi standar pemotongan hewan yang ditetapkan. (art).