Stanchart: Tsunami Jepang Tak Ganggu Ekonomi

Peluang Bisnis Online Tanpa Ribet - Serta Info terbaru seputar dunia bisnis indonesia terupdate dan terpercaya

Selasa, 29 Maret 2011

Stanchart: Tsunami Jepang Tak Ganggu Ekonomi

VIVAnews - Krisis politik di Timur Tengah dan bencana gempa bumi serta tsunami Jepang disinyalir hanya sedikit mempengaruhi perekonomian Indonesia. Sebab, kerja sama perdagangan, khususnya dengan kedua negara tersebut hanya memiliki sedikit porsi pada produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Standard Chartered Bank mencatat, porsi PDB Indonesia paling banyak disumbang sektor manufaktur (25 persen), pertanian (15 persen), restoran (14 persen), dan pertambangan (11 persen).

Jepang diketahui adalah mitra dagang utama Indonesia. Pada 2009, ekspor Indonesia ke Jepang mencapai US$18,6 miliar, sedangkan impor US$9,8 miliar. Total nilai perdagangan US$28,4 miliar. Dari perdagangan kedua negara itu, Indonesia surplus US$8,8 miliar.

Sementara itu, untuk perdagangan non migas dengan Jepang, pada 2010, jumlah ekspor mencapai US$16,5 miliar dan impor US$16,9 miliar, sehingga terjadi defisit US$400 juta.

Hubungan dengan Libya
Selanjutnya, terkait hubungan perdagangan Indonesia dan Libya, saat ini dampaknya relatif kecil. Meski demikian, krisis Libya berdampak pada kenaikan harga minyak.

"Namun, kenaikannya tidak akan seperti pada 2008. Sebab, ekonomi Amerika Serikat mulai membaik dan Libya bukan negara penghasil utama minyak dunia," kata Ekonom Standard Chartered Bank Indonesia, Erik Sugandi, di Jakarta, Selasa, 29 Maret 2011.

Selama ini, menurut dia, minyak asal Timur Tengah paling banyak digunakan negara Eropa. Sementara itu, situasi pemerintahan di negara produksi minyak utama dunia, seperti Uni Emirat Arab, Irak, Kuwait, dan Aljazair masih cenderung stabil.

"Libya bukan penghasil minyak terbesar. Ditutupnya produksi minyak Libya masih bisa ditalangi negara lainnya," ujar Erik.

Sementara itu, Ekonom Senior Standard Chartered Bank Indonesia, Fauzi Ichsan, berpendapat, harga minyak dunia yang meningkat cenderung terpicu ulah spekulan. Bila krisis berakhir, spekulasi juga akan mereda. "Namun, yang dikhawatirkan, jika krisis meluas ke negara lain yang juga memasok minyak dunia, harga minyak bisa berpotensi naik," katanya.

Selama 2011, dia memperkirakan harga minyak dunia bakal melonjak ke level US$105 per barel dan mata uang dolar AS melemah. "Dolar AS tidak dilihat sebagai mata uang komoditas. Spekulator akan menggeser investasi ke saham dan minyak," tambah Fauzi.

Dengan asumsi harga minyak tersebut, kedua ekonom optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menembus 6,4-6,5 persen. "PDB masih ditopang konsumsi dan FDI (foreign direct investment)."

Dia menjelaskan, konsumsi diperkirakan mencapai 46 persen, sedangkan FDI belum seluruhnya masuk pada 2010, dan akan masuk tahun ini. "Masuknya portofolio tidak akan sekencang 2009-2010, tetapi tetap masuk. Ini akan membantu penguatan rupiah dan pertumbuhan," tuturnya. (art)

Kerja di rumah

Popular Posts