Pengamat: Terapkan Harga Premium Fluktuatif
VIVAnews - ReforMiner Institute meniliai kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang diwacanakan pemerintah selama ini cukup rasional. Namun, potensi distorsi kebijakan itu cukup tinggi, sehingga tidak implementatif dan tidak efektif dalam menyelesaikan masalah saat ini maupun di masa akan datang.
Kebijakan kenaikan harga BBM yang hanya dilakukan pada saat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terancam jebol --seperti yang dilakukan pemerintah-- selama ini cukup rasional, implementatif, dan efektif untuk mengatasi permasalahan untuk jangka pendek. Tetapi, kebijakan itu tidak cocok untuk jangka panjang karena bersifat ad hoc.
"Terbukti, setiap kali terjadi lonjakan harga minyak mentah dunia --seperti saat ini-- APBN kembali tertekan penambahan defisit karena membengkaknya subsidi BBM dan subsidi energi lainnya (LPG dan listrik)," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, dalam keterangan tertulis yang diterima VIVAnews.com di Jakarta.
"Berangkat dari hal itu, ReforMiner Institute mengusulkan untuk diterapkannya kebijakan harga BBM subsidi yang berfluktuasi," ujar dia.
Menurut Pri Agung, secara prinsip kebijakan itu pada dasarnya adalah mengunci persentase harga BBM subsidi atau premium terhadap harga keekonomiannya pada tingkat tertentu dan membiarkannya mengikuti pergerakan harga minyak mentah yang ada.
Jadi, pada saat harga minyak mentah naik, harga BBM yang diberlakukan juga akan naik. Sebaliknya, pada saat harga minyak mentah turun, harga BBM juga akan turun.
Walaupun berfluktuasi, harga BBM tersebut merupakan harga yang disubsidi pemerintah dengan besaran tertentu yang dijaga konstan sepanjang tahun anggaran berjalan. Hal itu merupakan cerminan komitmen dari negara untuk memberikan subsidi BBM kepada rakyatnya dalam bentuk subsidi harga.
"Fluktuasi atau penyesuaian harga BBM yang berlaku dapat dilakukan sekali atau dua kali dalam satu bulan," ujarnya.
Dalam pandangan Pri Agung, ada tiga hal penting yang menjadi tujuan utama dari diterapkannya kebijakan harga BBM subsidi berfluktuasi ini. Pertama, APBN dapat terbebas dari permasalahan klasik subsidi BBM yang diakibatkan oleh gejolak atau tingginya harga minyak. Kedua, Indonesia sebagai negara produsen minyak dapat mulai menikmati keuntungan ketika harga minyak meningkat atau tinggi.
Ketiga, agar perekonomian negara ini secara keseluruhan (pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat luas) terbiasa dengan harga BBM yang bergerak naik turun, sehingga lebih adaptif terhadap dinamika perekonomian yang terjadi sepanjang waktu.
Berdasarkan kajian ReforMiner Instititute, untuk APBN 2011, besaran persentase tertentu harga BBM subsidi terhadap harga keekonomiannya adalah 65,59 persen untuk premium, 64,31 persen solar, dan 36,41 persen bagi minyak tanah.
Artinya, dengan harga premium Rp4.500 per liter, solar Rp4.500 per liter, dan minyak tanah Rp2.500 per liter saat ini, negara mensubsidi masing-masing sebesar 34,41 persen, 35,69 persen, dan 63,59 persen.
"Persentase harga BBM subsidi dan harga keekonomiannya sebesar 65,59 persen (premium), 64,31 persen (solar), dan 36,41 persen (minyak tanah) inilah yang akan dijaga konstan sepanjang tahun anggaran 2011. Ini berjalan jika kebijakan harga BBM subsidi berfluktuasi ini diterapkan," kata Pri Agung.
Dengan mengasumsikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) saat ini US$100 per barel, sedangkan asumsi-asumsi makro APBN lainnya masih dianggap tetap terpenuhi, kajian ReforMiner Institute menghitung bahwa persentase harga BBM subsidi terhadap harga keekonomiannya saat ini hanya mencapai 53,57 persen untuk premium, 52,50 persen solar, dan 29,70 persen bagi minyak tanah.
Kondisi ini jika dipertahankan, Pri Agung melanjutkan, akan memberikan dampak negatif terhadap APBN jika harga minyak mentah dunia terus meningkat. Untuk itu, sebagai langkah awal di dalam mengimplementasikan kebijakan BBM subsidi berfluktuasi ini diperlukan penyesuaian harga BBM terlebih dahulu.
Penyesuaian ini diperlukan untuk membuat agar APBN tetap dapat bersifat positif netral terhadap pergerakan harga minyak mentah dunia.
Kajian ReforMiner Institute menghitung, penyesuaian harga BBM yang diperlukan pada titik harga ICP US$100 per barel masing-masing adalah menjadi Rp5.510 per liter untuk premium, Rp5.512 per liter solar, dan Rp3.065 per liter bagi minyak tanah. "Ini akan menjadi titik awal untuk kemudian kebijakan harga BBM subsidi berfluktuasi dapat diterapkan," ujarnya.
ReforMiner Institute pada prinsipnya berharap agar dampak pergerakan harga minyak mentah bersifat netral pada APBN.
Dengan membuat dampaknya menjadi netral, menurut Pri Agung, dalam kebijakan ini dapat disebutkan negara tidak “mengambil untung” dari penurunan harga minyak. Tetapi, negara konsisten memberikan subsidi BBM kepada masyarakat dengan menurunkan harganya.
Pola kebijakan yang sama dapat diterapkan pada tahun-tahun anggaran berikutnya dengan mengunci terlebih dahulu besaran persentase alokasi anggaran subsidi BBM terhadap belanja negara total.
Dengan parameter volume BBM subsidi yang akan selalu meningkat dari tahun ke tahun, dengan mengunci persentase alokasi anggaran subsidi BBM pada angka tertentu, maka persentase harga BBM subsidi terhadap harga keekonomiannya dengan sendirinya akan menyesuaikan.
"Dengan menerapkan kebijakan harga BBM subsidi berfluktuasi ini, APBN dan perekonomian nasional secara keseluruhan diharapkan dapat “terbebas” dari ancaman gejolak harga minyak dan ke depannya dapat menjadi lebih sehat," ujarnya. (art)