Fluktuasi Ekonomi Ancam Bisnis CEO Dunia
VIVAnews - Hampir tiga perempat kepala eksekutif korporat (chief executive officer/CEO) dunia melihat pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil sebagai ancaman potensial bagi bisnis mereka dalam 12 bulan ke depan. Selain itu, hampir sepertiga dari para CEO itu mengatakan bahwa mereka 'sangat khawatir' dengan prospek ekonomi global.
Hasil survei tahunan PricewaterhouseCoopers bertajuk PwC 14th Annual Global CEO Survey menyebutkan sekitar 61 persen responden dari kalangan eksekutif puncak itu menilai ancaman umum lainnya yang bakal dihadapi adalah reaksi pemerintah terhadap defisit fiskal.
Selain itu, 60 persen CEO mencemaskan adanya peraturan yang tumpang tindih, ancaman dari volatilitas nilai tukar (54 persen), serta kondisi pasar modal yang tidak stabil (52 persen) dan proteksi (40 persen). Sementara itu, momok tingkat inflasi diungkapkan oleh kurang dari sepertiga responden.
Di antara ancaman bisnis bagi CEO itu, 56 persen responden mengkhawatirkan ketersediaan bakat yang dibutuhkan, diikuti oleh peningkatan pajak (55 persen), dan pergeseran permanen dalam perilaku konsumen (48 persen).
"Kekurangan potensi bakat menjadi perhatian khusus di Asia Pasifik, Eropa Tengah dan Timur, Timur Tengah, serta Afrika," kata PwC mengutip hasil survei.
Risiko global lainnya yang diungkapkan para CEO termasuk ketidakstabilan politik (58 persen), kelangkaan sumber daya alam (34 persen), perubahan iklim (27 persen), dan bencana alam (25 persen).
Untuk itu, hampir separuh dari CEO mengatakan prioritas pemerintah harus ditekankan dalam perbaikan infrastruktur negara. Selain itu, pemerintah suatu negara diharapkan dapat menciptakan dan membina tenaga kerja terampil, serta memastikan stabilitas sektor keuangan dan akses ke modal yang terjangkau.
"Lebih dari 60 persen CEO sepakat bahwa pemotongan belanja publik atau kenaikan pajak akan memperlambat pertumbuhan ekonomi di negara mereka," tulis hasil survei itu.
Bahkan, 53 persen CEO mengatakan pajak perusahaan mereka akan meningkat akibat dari reaksi pemerintah untuk meningkatkan utang publik. Hanya lebih dari sepertiga CEO yang mengatakan bahwa perusahaan mereka telah membuat perubahan strategis karena pemotongan belanja publik atau kenaikan pajak baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Menanggapi hasil survei itu, Kepala Ekonom PT Bank Danamon Tbk, Anton Gunawan, mengatakan, sejumlah CEO global terutama dari negara barat memang masih mengkhawatirkan hambatan iklim investasi di sejumlah negara dunia.
"Belum lagi, mereka masih dihadapkan pada kondisi pemulihan perusahaan (paska guncangan krisis ekonomi)," kata Anton kepada VIVAnews.com di Jakarta.
Anton menilai, khusus di Indonesia, investasi langsung dari perusahaan-perusahaan Eropa dan Amerika Serikat memang belum sebesar ekspansi bisnis yang datang dari kawasan Asia. "Kalau dari Asia, sudah banyak perusahaan Korea, China, Jepang, dan India yang masuk ke Indonesia," tuturnya.
Meski demikian, menurut dia, untuk investasi dalam bentuk portofolio, sejumlah perusahaan dunia sudah begitu gencar masuk ke dalam negeri sejak tahun lalu. "Beda dengan investasi langsung, portofolio investasi asing sudah banyak masuk ke Indonesia," ujarnya.
Survei PwC itu dilakukan dengan wawancara 1.201 responden CEO di 69 negara dalam kuartal terakhir 2010. Dilihat dari wilayah, sebanyak 420 wawancara dilakukan di Eropa Barat, 257 (Asia Pasifik), 221 (Amerika Latin), 148 (Amerika Utara), 98 (Eropa Timur), serta 57 di Timur Tengah dan Afrika.
Negara-negara di Asia Pasifik terdiri atas Australia (40), China (39), Hong Kong (7), India (40), Indonesia (1), Jepang (75), Korea (15), Malaysia ((11), Singapura (4), Taiwan (10), Thailand (5), Vietnam (10).