Pengamat: Larangan Premium Bukan Opsi Terbaik

VIVAnews - Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menilai positif ditundanya program pembatasan pemakaian premium, hingga Maret 2011. Penundaan ini menurut dia akan memberi waktu bagi PT Pertamina (Persero) untuk menyiapkan infrastruktur bahan bakar nonsubsidi secara matang.
"Penundaan ini sekaligus memberi waktu bagi pemerintah memikirkan kebijakan yang lebih tepat," kata dia kepada VIVAnews.com, Selasa, 14 Desember 2010.
DPR RI Senin malam kemarin memutuskan menunda pembatasan bahan bakar bersubsidi pada akhir kuartal pertama 2011 dari rencana semula 1 Januari tahun depan.
Pri Agung menilai pembatasan konsumsi premium dan solar bagi kendaraan pribadi bukanlah opsi terbaik. Sebab, masih banyak opsi lain yang lebih efektif untuk menekan subsidi BBBM. "Memangnya setelah dibatasi harga Premium tidak bakal naik lagi?" kata Pri Agung yang juga direktur ReforMiner Institute. "Saya kira pemerintah kurang antisipatif terhadap kenaikan harga minyak dunia dan lonjakan jumlah sepeda motor."
Pri Agung justru mengatakan, bila ingin mengurangi subsidi BBM, langkah menaikkan harga adalah yang sangat signifikan. Hitungan ReforMiner, setiap kenaikan Rp200 per liter, akan mengurangi subsidi Rp7,5 triliun per tahun. "Bila naik Rp300 jadi hemat Rp11 triliun," katanya.
Sementara itu, penghematan larangan premium bagi kendaraan pribadi akan mengurangi volume premium 11,7 juta kilo liter per tahun, atau kurang lebih bisa menghemat anggaran subsidi Rp17,6 triliun. Tentunya, ini bila opsi ini diterapkan di seluruh Nusantara. Jika cuma di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, penghematan hanya 500 kilo liter atau sekitar Rp750 miliar.
"Konsumen premium juga lebih nyaman, harganya naik Rp500 daripada harus beralih ke Pertamax yang harganya Rp6.900," ujarnya.
Pengamat energi Kurtubi juga mengatakan hal yang sama. Menurut dia, rencana pemerintah membatasi BBM bersubsidi tidaklah tepat. Pembatasan konsumsi hanya akan menimbulkan masalah baru pada masa mendatang.
Kurtubi yang juga Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies mengatakan bahwa terganggunya kegiatan ekonomi masyarakat akan terjadi bila pasokan BBM dikurangi. "Pertumbuhan ekonomi akan terganggu," kata Kurtubi saat dihubungi VIVAnews. "Pembatasan ini menyalahi konsensus kebijakan energi dunia."
Masalah lain yang akan timbul adalah keributan di stasiun pengisian bahan bakar umum. Bila permintaan tinggi, sementara pasokan dibatasi akan menimbulkan antrean panjang. Akhirnya, pasar gelap dan penggelembungan harga pun terjadi.
Jika ingin menurunkan beban subsidi, menurut dia pemerintah seharusnya belajar dari kebijakan sebelumnya saatmenerapkan konversi energi. Menurut Kurtubi, sebelum konversi elpiji dilakukan pada 2007, subsidi minyak tanah merupakan yang terbesar dibandingkan dengan premium maupun solar. Kenyataannya, melalui konversi, konsumsi minyak tanah anjlok, dan dengan sendirinya subsidi juga berkurang drastis.
Pemerintah sebenarnya bisa melakukan konversi premium dan solar dengan bahan bakar gas (BBG). Penggunaan BBG sudah teruji pada Bus Transjakarta, Bajaj, dan sejumlah taksi. "Bajaj saja bisa, masa mobil pribadi tidak bisa?" katanya.
Kurtubi menawarkan jalan lain dalam menurunkan beban subsidi, yaitu menaikkan harga premium dan solar. Namun, risikonya pemerintah akan didemo rakyatnya. "Ini jalan paling sederhana. Tapi pemerintah mana yang mau didemo? Kan tidak ada," tutur Kurtubi. (kd)