Indonesia-Malaysia Berebut Pasar Oleokimia

Peluang Bisnis Online Tanpa Ribet - Serta Info terbaru seputar dunia bisnis indonesia terupdate dan terpercaya

Minggu, 05 Desember 2010

Indonesia-Malaysia Berebut Pasar Oleokimia

VIVAnews - Data lembaga riset komoditas internasional, LMC, menunjukkan selama periode 2010-2020, pasar oleokimia diperkirakan tumbuh 3,6 persen untuk fatty alcohol dan empat persen bagi fatty acid. Catatan pertumbuhan itu merupakan yang terbesar di Asia.

"Indonesia dan Malaysia akan menjadi produsen oleokimia terbesar dalam dekade berikutnya," kata Direktur Utama PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk, Ambono Janurianto, saat pemaparannya pada ajang "6th Indonesia Palm Oil Conference and 2011 Price Outlook" di Bali.

Menurut Ambono dalam keterangan tertulis yang diterima VIVAnews.com di Jakarta, Minggu 5 Desember 2010, pemerintah Indonesia akan membatasi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) secara bertahap, yaitu sebesar 50 persen pada 2015 dan 30 persen untuk 2020 guna mendukung industri hilir di dalam negeri.

Upaya itu, dia melanjutkan, seiring dengan kebijakan pemerintah yang telah menetapkan pembangunan klaster industri berbasis CPO di tiga provinsi yaitu Riau (Kuala Enok), Sumatera Utara (Sei Mangke), dan Kalimantan Timur (Maloy) dengan investasi US$5-6 miliar untuk membangun infrastrukturnya.

"Peluang pasar produk turunan CPO, terutama oleokimia, bagi industri nasional sangat besar, karena permintaan dunia terus meningkat," ujar dia.

Meningkatnya permintaan itu, dia menjelaskan, seiring dengan kenaikan pendapatan per kapita, terutama di China dan India, serta perubahan gaya hidup, dan urbanisasi masyarakat dunia.

Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) mengatakan, walaupun kondisi infrastruktur Indonesia belum cukup memadai, prospek industri oleokimia menjanjikan. "Permintaan di pasar dunia masih membaik," ujar Ketua Apolin, Steve Goei King An.

Dengan kondisi permintaan dunia yang terus membaik itu, dia berharap ada kebijakan yang menjamin ketersediaan bahan baku berupa minyak sawit mentah dan palm kernel oil (PKO) di dalam negeri. "Artinya, ekspor CPO dan PKO harus dibatasi, sehingga refinery berjalan dengan baik dan (industri) oleokimia berkembang," ujarnya.

Tanpa kebijakan pemerintah yang membatasi ekspor CPO, Steve khawatir, Indonesia sebagai negara produsen terbesar CPO akan menjadi pengimpor oleokimia yang berkembang di negara lain.

Sementara itu, Direktur Utama PT Flora Sawita Chemindo, M Iqbal Zainuddin, yang mengelola pabrik oleokimia milik Bakrie Sumatera Plantation dan baru saja diakuisisi dari Group Domba Mas, mengatakan bahwa nilai tambah produk oleokimia sangat tinggi dibandingkan CPO.

Menurut Iqbal, nilai tambah produk itu mencapai US$400-1.200. Namun, sayangnya, Iqbal menambahkan, belum banyak perusahaan di Indonesia masuk ke industri tersebut.

Saat ini, dia menjelaskan, terdapat enam produsen besar yang memproduksi oleokimia baik untuk fatty acid maupun fatty alcohol dengan total kapasitas terpasang mencapai 1,1 juta ton per tahun.

Industri nasional yang masuk ke industri hilir CPO itu adalah Bakrie Sumatera Plantations, PT Cisadene Raya, PT Nubika Jaya, SOCI, Bumi Asih, dan Musim Mas. "Industri oleokimia nasional, termasuk kami masih bermain di sektor oleokimia dasar yang memasok produksinya ke berbagai industri barang konsumsi di dalam negeri seperti Wings maupun di dunia seperti Unilever dan P&G," katanya.

Dia mengakui, untuk masuk ke industri oleokimia hilir, baik berupa derivatifnya maupun sampai ke barang konsumsi seperti produk kosmetik, deterjen, obat-obatan, agrokimia, plastik, tekstil, ban, zat tambahan pangan, pelumas, dan lain-lain membutuhkan investasi yang besar.

Kerja di rumah

Popular Posts