Beredar, Makanan Impor Tak Penuhi Syarat
VIVAnews - Tim Terpadu Pengawasan Barang Beredar menggelar inspeksi mendadak di sejumlah supermarket yang ada di Jakarta. Tim menemukan masih banyak produk makanan dan minuman impor yang tidak memenuhi persyaratan beredar di masyarakat.
Di outlet Papaya di sebuah mal di kawasan Blok M, tim menyita makanan dan minuman asal Malaysia dan Jepang. Sedangkan di pusat perbelanjaan lain, Supermarket Mu Gung Hwa (MGH) yang berlokasi Jalan Senayan, Blok S, Jakarta Selatan, tim menemukan makanan minuman asal Korea yang belum berlabel bahasa Indonesia dan belum teregistrasi.
"Untuk meningkatkan pengawasan barang beredar harus dilakukan secara terpadu tanpa menimbulkan dampak negatif dan distorsi di lapangan," kata Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu usai sidak di Blok S, Jakarta, Sabtu, 4 Desember 2010.
Menurut pengamatan VIVAnews.com, produk makanan-minuman bermasalah di Blok M itu sebagian besar masih tersimpan dalam kardus makanan. Sejumlah makanan ringan seperti wafer, biskuit, dan cracker tampak di dalamnya.
Lain lagi di supermarket MGH, di pasar swalayan ini, masyarakat bisa dengan mudah memperoleh berbagai jenis makanan mulai dari kripik kentang, bubur hingga mi instan yang umumnya berasal dari Negeri Gingseng, Korea.
Dalam penjelasannya, Mari Pangestu mengatakan sidak yang dilakukan terkait pemeriksaan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum sebuah produk diedarkan. Persyarakatan barang pangan di antaranya, wajib mencantumkan label manual bahasa Indonesia yang menjelaskan cara penggunaan dan bahan pembuat, serta memperoleh sertifikat ML untuk produk pangan dari luar negeri dan DL untuk makanan lokal.
"Tadi ada bahan pangan yang tidak ada kode ML juga tidak berlabel bahasa Indonesia," katanya.
Menindaklanjuti temuan barang pangan yang tidak memenuhi syarat, tim rencananya akan melakukan penelusuran lebih dalam guna menilai ada tidaknya pelanggaran. "Kami akan melihat dulu importir siapa, kalau dari dalam negeri akan dilihat siapa produsennya," kata Mari. "Semua yang kami lakukan adalah untuk melindungi konsumen."
Bantah Tak Penuhi Syarat
Menanggapi temuan dari tim TPBB, Manajer Supermarket MGH, Rick, menyanggah bahwa produk yang dijual di supermarketnya belum terdaftar di BP POM. Selain itu, menurutnya MGH juga sudah memasang label berbahasa Indonesia di setiap produk yang dipasarkan. Namun, Rick mengakui pihaknya memang kesulitan menempel label bahasa Indonesia karena kurangnya sumber daya manusia.
"Kebanyakan kosumer kami adalah orang Korea, di sini kami hanya menyimpan dan menjualnya. Kami hanya membantu perusahaan importirnya," kata Rick.
Dia mengakui seringkali memperoleh kesulitan ketika berusaha memperoleh sertifikat ML dari istansi terkait. Malahan, perusahaan importir harus menunggu minimal 6-12 bulan untuk memperoleh sertifikat tersebut. "Setiap 5 tahun kami harus memperbaharui kode produk itu, dan untuk satu produk minimal butuh waktu 5 bulan sampai setahun," katanya.
Menteri Mari Pangestu sebelumnya berujar, untuk produk yang masih berada di dalam gudang memang belum dikenakan ketentuan mengenai pencantuman label bahasa Indonesia. Namun ketika sudah diedarkan, perusahaan wajib menempelkan label tersebut. "Kalau barang di gudang memang belum beredar, tapi yang diatas (swalayan) sudah beredar, jadi harus sudah ada kode ML dan MD-nya, juga label," ujar Mari. (kd)