Bahana: 2011, Rupiah Bisa di Bawah 8.000/$

Peluang Bisnis Online Tanpa Ribet - Serta Info terbaru seputar dunia bisnis indonesia terupdate dan terpercaya

Rabu, 22 Desember 2010

Bahana: 2011, Rupiah Bisa di Bawah 8.000/$

VIVAnews - PT Bahana TCW Investment Management menilai kestabilan makroekonomi Indonesia akan tetap terjaga selama tahun depan. Indikator
Bahana Fear Index, yang mengukur risiko pelemahan rupiah akibat penukaran uang, berada dalam zona aman atau di bawah 100.

Indikator itu justru mengisyaratkan penguatan rupiah bakal terus berlanjut hingga di bawah level 8.000 per dolar AS, bila Bank Indonesia (BI) tidak melakukan intervensi.

"Seperti berulang kami sampaikan, penguatan rupiah termasuk ditopang oleh aliran masuk modal asing. Aliran ini juga menyebabkan penurunan suku bunga domestik hingga mendekati suku bunga internasional," kata ekonom Bahana, Budi Hikmat, dalam Laporan Catatan Akhir 2010 yang diterima VIVAnews.com di Jakarta.

Bahana menilai, fokus kebijakan BI berubah menjadi pengelolaan likuiditas (liquidity management). Hal itu terkait dengan lonjakan kelebihan likuiditas perbankan yang disimpan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Saldo SBI terus meningkat hingga mendekati Rp400 triliun.

"Ini memperberat beban BI. Karena itu kami menduga BI akan mempertahankan suku bunga rendah," ujar Budi.

Dengan peraturan baru, menurut laporan Bahana, BI terus ‘memaksa’ perbankan untuk menyalurkan kredit. BI pun diperkirakan mempertahankan tingkat bunga tetap pada level 6,5 persen hingga triwulan ketiga 2011.

Selama 2010, menurut Budi, BI secara tidak langsung merespons isyarat penguatan inflasi dengan menaikkan bunga. Sebab, BI meyakini kenaikan inflasi yang dipicu oleh komoditas makanan bersifat sementara. BI lebih mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk membenahi masalah struktur pasar dan infrastruktur.

Laporan Akhir Tahun Bahana itu juga menyebutkan risiko akselerasi inflasi sangat mungkin terjadi pada 2011. Namun, hal itu dinilai wajar dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. "Keberhasilan pemerintah mempercepat penyediaan infrastruktur pada mulanya cenderung mendorong inflasi," ujar Budi Hikmat.

Budi mengatakan, tekanan inflasi juga dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terkait dengan pengurangan subsidi. Beberapa tahun terakhir ada kecenderungan peningkatan defisit perdagangan minyak.

"Beban anggaran untuk subsidi minyak akan mengalami peningkatan bila harga minyak naik," ujar dia.

Meski demikian, Bahana melaporkan, inflasi seperti ini tergolong cost push yang secara teoritis tidak perlu direspons dengan menaikkan bunga.

Berdasarkan pengalaman kenaikan harga BBM pada Oktober 2005, arus masuk modal asing terus menguat. Sebab, penurunan subsidi tersebut meningkatkan kapasitas pemerintah membayar pokok dan kupon obligasi.

Kondisi ini akan membawa Indonesia semakin berpeluang menikmati kenaikan peringkat menjadi investment grade. Akibatnya, hal ini akan memicu arus masuk modal asing yang dapat memperkuat rupiah dan membantu menjaga inflasi. "Kami memperkirakan inflasi tetap berkisar pada level persen, atau masih lebih rendah dari rata-rata historis 8,3 persen," ujarnya. (umi)

Kerja di rumah

Popular Posts