Alasan Pelarangan Ekspor Tambang Mentah
VIVAnews - Tanggal 6 Februari lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menandatangani Peraturan Menteri ESDM No.7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral. Aturan ini keluar sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Herman Afif Kusumo, presidium Masyarakat Pertambangan Indonesia menilai, secara implisit, Peraturan Menteri itu bernuansa menghasilkan legitimasi pengendalian barang tambang. "Tujuannya, agar tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan dan tidak terkendali," kata dia di Jakarta, Rabu 14 Maret 2012.
Logikanya, Herman mengatakan, regulasi yang dikeluarkan Menteri Jero Wacik itu cukup bagus. Sebab, ke depan ekspor mineral yang dilakukan pengusaha tambang tidak lagi dalam bentuk bahan mentah, melainkan sudah menjadi barang olahan atau barang jadi.
Pro kontra pun terjadi ketika regulasi itu dikeluarkan. Penolakan sebagian besar dilontarkan oleh pengusaha tambang yang belum siap mengimplementasikan regulasi itu. Para pengusaha tambang meminta perpanjangan waktu kepada pemerintah hingga 2014. Ini wajar, mengingat sebagian besar perusahaan tambang telah melakukan perencanaan dan komitmen sesuai undang-undang Pertambangan No. 4 Tahun 2009.
Herman mengatakan, koordinasi antara pemerintah dengan pelaku usaha di sektor pertambangan mineral harus dilakukan, agar penjabaran aturan ini dapat menjadi satu visi. Penyamaan persepsi mutlak dilakukan agar tidak terjadi kekisruhan dan kekacauan di daerah.
Menurut dia, mayoritas pengusaha tambang mineral yang sudah mapan berharap pemerintah bisa melakukan pembicaraan secara terbuka dan komprehensif terhadap usahanya dalam mengimplementasikan peraturan itu. Karena, pada umumnya para pengusaha tambang, seperti halnya pemegang kontrak karya (KK), telah terikat kontrak jangka panjang dengan pembeli, utamanya untuk pangsa ekspor.
Membangun smelter memang dibutuhkan waktu yang cukup lama, serta modal yang cukup besar. "Pemerintah perlu memberikan guideline dan pembinaan bagi mereka yang memang telah berusaha mematuhi amanat undang-undang," katanya.
"Kunci dari semua permasalahan ini adalah audit resources oleh pemerintah yang kemudian memunculkan pemahaman konsep keseimbangan, sehingga industri mengerti betul apa arti ketahanan dan kedaulatan atas sumber daya alam."
Pemerintah juga perlu memetakan secara keseluruhan potensi pertambangan mineral yang ada. Pemerintah bisa memulainya dengan melakukan penghitungan cadangan. Dari cadangan yang ada tersebut, selanjutnya pemerintah bisa mengalokasikan mineral mana yang menjadi bagian untuk diolah di dalam negeri yang nantinya menjadi Domestic Market Obligation, mana yang untuk di ekspor, dan menjadi alokasi pencadangan negara.
Bagi pengusaha tambang skala menengah yang belum mampu membangun smelter secara mandiri, sudah semestinya diwajibkan membuat konsorsium. Dengan demikian, pemerintah akan lebih mudah membuat sistem clustering industrinya.
"Sejatinya, dengan Peraturan Menteri ESDM No 7/2012 itu pemerintah ingin menyetop ekspor raw material atau ore secara masif yang dilakukan pengusaha tambang skala kecil, terutama pertambangan liar (illegal mining) yang tidak memikirkan konservasi lingkungan serta sustainabilitasnya," katanya.
Secara jangka panjang, perusahaan tambang skala besar itu sudah bisa dipastikan telah memiliki rencana untuk membangun smelter, karena dengan kekuatan finansial, teknologi, dan SDM yang dimilikinya.
Terlepas dari pro kontra atas terbitnya Peraturan Menteri ini, semua pihak semestinya mahfum bahwa mineral merupakan sumber daya alam tidak terbarukan. Oleh sebab itu, bahan tambang harus dioleh untuk memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional, guna mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. (umi)