Tak Boleh Pakai Solar, Nelayan Tak Melaut
VIVAnews - Sejumlah nelayan tradisional di Kalimantan Barat memilih tidak melaut menyusul kewajiban menggunakan bahan bakar nonsubsidi bagi kapal bertonase di atas 30 GT. Mereka mengeluh mahalnya harga BBM industri, yang jauh lebih tinggi dari BBM bersubsidi, seperti selama ini mereka gunakan.
“Kami sekarang tidak bisa melaut," kata Hengky, nelayan Sungai Rengas, Kubu Raya, Pontianak, Kamis 23 Februari 2012. "Dulu sebelum ada Perpres saja sudah sangat sulit dapat solar, apalagi sekarang."
Tentu saja, dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu yang diumumkan 13 Februari 2012, program pemerintah yang menggenjot hasil tangkapan ikan bakal tak bisa terlaksana.
Nelayan lainnya, Jhony, mengatakan bahwa Perpres tersebut sangat memberatkan bagi nelayan. Menurut dia, kapal di atas 30 GT sampai 200 GT masih masuk jenis kapal kecil, dan sama sekali bukan kapal industri. “Apa dasarnya kapal kami tak boleh menggunakan BBM bersubsidi?" tanya dia.
Sebagai gambaran, dia menegaskan, hasil tangkapan tak bisa dijual ke industri. Mereka harus menjual ke pasar tradisional. "Kalau kapal di atas 200 GT boleh lah menggunakan BBM nonsubsidi, mereka perusahaan besar," katanya.
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) pun dengan tegas menolak Perpres ini. Ketua HNSI DPC Kota Pontianak, Bani Amin, mengatakan, sejak dikeluarkannya peraturan itu, Pertamina sudah tidak melayani pembelian solar bersubsidi untuk kapal-kapal di atas 30 GT. "Jelas kami kapal di atas 30 GT tidak dapat melaut," katanya.
Menurut dia, di Pontianak, kapal dengan tonase itu ada sekitar 85 kapal. "Hitung kasar saja, kalau satu kapal isinya 20 orang, berapa banyak orang yang menganggur," kata Amin di Pontianak. (art)