Pekerja Outsourcing Tak Boleh Kehilangan Hak

VIVAnews - Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Uji materi ini diajukan Didik Suprijadi, seorang pegawai swasta asal Surabaya.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Mahfud MD dalam persidangan di Kantor MK, 17 Januari 2012.
Menurut Mahkamah, frasa “… perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7), dan frasa “… perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Sepanjang dalam 47 perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh," kata Mahfud.
Selain itu, frasa “… perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “… perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh," ungkapnya.
Dalam pertimbangan Mahkamah, pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi oleh konstitusi.
"Jaminan dan perlindungan demikian tidak dapat dilaksanakan dengan baik hanya melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), karena posisi pekerja/buruh berada dalam posisi tawar yang lemah, akibat banyaknya pencari kerja atau oversupply tenaga kerja," ujar Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya dan meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu menentukan perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh.
Dua Model
Dalam hal ini ada dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”.
Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
"Dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada, perusahaan penyedia jasa harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak," katanya. (ren)