Kenapa TPPI Perlu Restrukturisasi

Peluang Bisnis Online Tanpa Ribet - Serta Info terbaru seputar dunia bisnis indonesia terupdate dan terpercaya

Rabu, 14 Desember 2011

Kenapa TPPI Perlu Restrukturisasi

Nasib TPPI kini di tangan Menkeu. Proposal restrukturisasi tahap dua, sudah di tangannya. (Antara/ Yudhi Mahatma)

VIVAnews - Nasib PT Trans Pacific Petrochemical Indotama kini di tangan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Proposal restrukturisasi tahap dua sudah berada di meja Menkeu. Bila disetujui, restrukturisasi tinggal jalan.

Bagaimana sesungguhnya penumpukan utang itu terjadi? Dalam data yang diperoleh VIVAnews.com, TPPI didirikan pada Oktober 1995 dengan tujuan membangun komplek pabrik penghasil aromatik (Phase 1) dan olefin (Phase II), bahan baku industri petrokimia.

Pembangunan pabrik dimulai pada 1997, tetapi kemudian pada 1988 terhenti akibat krisis ekonomi yang terjadi di Asia. Untuk menyelesaikan pabrik Phase I dibutuhkan tambahan investasi sebesar US$400 juta dan modal kerja US$75 juta.

Pada 2001, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) meminta Pertamina berpartisipasi dalam penyelesaian proyek TPPI dengan konsep product swapping. Pada 2004, TPPI berhasil menyelesaikan restrukturisasi utang dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan memperoleh pendanaan dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) serta beberapa bank komersial. TPPI kemudian mulai beroperasi pada 2006.

Dalam program restrukturisasi tersebut, utang Tirta Mas Group, induk usaha TPPI sebelum restrukturisasi, di BPPN dialihkan kepada Tuban Petrochemical Industries dan kemudian Tuban Petro membayar kewajibannya kepada pemerintah yang sekarang diwakili PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dengan menerbitkan obligasi berupa Multi Year Bond sebesar Rp3,26 triliun dan Mandatory Convertible Bond.

Setelah restrukturisasi tahap pertama, pemilik saham TPPI pun berubah menjadi Tuban Petrochemical Industries (59,5 persen), Pertamina (15 persen), dan pemegang saham asing (25,5 persen). Sementara itu, Tuban Petrochemical Industries, sebesar 70 persen sahamnya dimiliki PT Perusahaan Pengelola Aset dan sisanya keluarga Honggo Wendratmo.

Utang menumpuk

Setelah konstruksi Phase I selesai dan operasi dimulai, Pertamina mendukung TPPI dengan menyuplai kondensat sejak 2006 untuk bahan baku produksi dengan sistem Letter of Credit (LC).

Pada pertengahan 2007, TPPI mengalami kesulitan keuangan, sehingga tidak dapat membuka LC. Untuk mencegah TPPI berhenti beroperasi, Pertamina tetap menyuplai kondensat Senipah dengan fasilitas Open Account.

Pada awalnya, suplai Senipah dibayar lancar. Namun, pada akhir 2007 kondensat yang telah disuplai dan tidak dapat dibayar, dengan total 4 kargo atau senilai US$183 juta. Pertamina kemudian menghentikan suplai kondensat untuk mencegah peningkatan jumlah utang.

TPPI berhenti beroperasi pada Maret 2008 dan sejak pertengahan 2009 mulai beroperasi kembali dengan bantuan suplai feedstock langsung dari BP Migas. Meskipun sudah kembali beroperasi, utang TPPI atas kondensat Senipah belum dibayar. Operasi ini justru menambah utang ke BP Migas sebesar US$180 juta.

Selain utang Senipah, TPPI juga memiliki utang ke Pertamina dalam bentuk product swapping. Pada skema ini, Pertamina memberikan dukungannya kepada TPPI dalam penyelesaian kilang aromatik di Tuban dengan menjamin suplai LSWR kepada Mitsui sampai 2012 senilai US$50 juta per enam bulan, dengan total US$600 juta. Hasil penjualan atas transaksi ini digunakan untuk membayar utang TPPI.

Sebagai imbalan, Pertamina mendapat product delivery instrument, yang memberikan hak kepada Pertamina untuk mendapatkan middle distillate products (MDP) dari TPPI. Apabila TPPI gagal mengirimkan MDP, maka TPPI berkewajiban membayar tunai atau menerbitkan surat utang berupa Delayed Payment Note, dan DPN jatuh tempo setiap 6 bulan setelah diterbitkan.

Namun kenyataannya, sejak Desember 2008, TPPI tidak mampu mengirimkan MDP maupun membayar tunai kepada Pertamina.

Seperti diketahui, TPPI memiliki utang kepada Pertamina sebesar US$548 juta, BP Migas US$180 juta, dan PT Perusahaan Pengelola Aset Rp3,27 triliun.

Selain perusahaan nasional, TPPI juga tengah digugat pailit oleh dua perusahaan Belanda, yaitu Argo Capital BV dan Argo Global Holding karena mempunyai utang jatuh tempo US$150 juta.

TPPI akan mendapatkan dana pinjaman dari Deutsche Bank sebesar US$1 miliar untuk melunasi utang itu. Namun, pinjaman hingga saat ini belum cair. Alasannya, Deutsche Bank membutuhkan perjanjian penyelesaian utang yang harus ditandatangani pihak terlibat. (art)

Related Posts:

Kerja di rumah

Popular Posts