Alasan Renegosiasi Tambang Masih Macet

Peluang Bisnis Online Tanpa Ribet - Serta Info terbaru seputar dunia bisnis indonesia terupdate dan terpercaya

Senin, 26 Desember 2011

Alasan Renegosiasi Tambang Masih Macet

VIVAnews - Masyarakat pertambangan yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Indonesia (API/IMA) menyatakan bahwa renegosiasi bukan hal baru, karena telah diatur dalam Kontrak Karya Pertambangan. Karena itu, keliru bila ada yang mengatakan perusahaan-perusahaan tambang menolak renegosiasi.

Direktur Eksekutif API/IMA, Syahrir AB, menjelaskan bahwa itikad baik perusahaan tambang terhadap UU No.4 tahun 2009 adalah dengan memulai renegosiasi sejak Januari hingga Febuari 2010. Namun, pada saat itu, pemerintah mengajukan 9 pasal Kontrak Karya yang berbeda.

“Semua pemegang Kontrak Karya telah mengajukan rencana kegiatan, dan rencana ini telah dinilai oleh tim dari Ditjen Minerba dan Institut Teknologi Bandung,” kata Syahrir di Jakarta, Senin 26 Desember 2011

Syahrir mengatakan, akibat dari perbedaan itu, persetujuan pemerintah terhadap rencana kerja Kontrak Karya belum diperoleh oleh perusahaan. Masalahnya, dia mengatakan, terkendala tiga pasal yang masih macet, yaitu mengenai luas wilayah, penerimaan negara, dan jangka waktu perpanjangan kontrak.

Persetujuan pemerintah terhadap luas wilayah seharusnya sesuai dengan usulan perusahaan dalam rencana kerja yang telah didasarkan pada kelayakan ekonomi dari berbagai kegiatan, seperti: eksplorasi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, rehabilitasi pasca tambang, dan tanggung jawab sosial perusahaan.

Sebagai contoh, bila berdasarkan kelayakan ekonomi perusahaan memerlukan luas wilayah operasi 70.000 hektare, maka luasan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pasal 53, UU No 4 tahun 2009 yang menetapkan luasan untuk pertambangan mineral 25.000 ha dan pasal 62, UU No 4 tahun 2009 untuk pertambangan batu bara 15.000 ha.

"Bila pemerintah memberikan persetujuan terhadap 70.000 ha, maka pemerintah dinilai melanggar ketentuan pasal 169 (b) UU No 4 tahun 2009,” kata Syahrir

Mengenai kenaikan penerimaan negara, seperti kenaikan royalti, seharusnya dilakukan dalam kerangka Kontrak Karya. Menurut dia, ada dua kerangka, yaitu murni leg specialist (aturan khusus), dan ada yang kombinasi antara leg spesialist dan hukum yang berlaku (prevailing law).

Sebagai contoh, pajak badan perusahaan pemegang Kontrak Karya yang leg spesialist sebesar 35 persen, sementara dalam UU No 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan sudah 28 persen dan dapat menjadi 25 persen.

Bila pajak badan bagi pemegang Kontrak Karya tetap 35 persen, sementara royalti dipaksakan meningkat menjadi 3,75 persen, sudah barang tentu akan mempersulit perusahaan mengikutinya.

“Keuntungan lebih yang diterima perusahaan sebagai implikasi tingginya harga komoditas tambang dapat saja diatur melalui peraturan perundangan, sehingga sebagian keuntungan masuk negara,” katanya.

Syahrir menegaskan, pasal 169 (b) UU No 4 tahun 2009 telah menjadi kendala bagi pemerintah dalam memberikan persetujuan terhadap rencana kegiatan perusahaan tambang.

Pasal ini pula yang menyebabkan terhentinya proses renegosiasi. Karena itu, dia mengatakan, perlu langkah strategis pemerintah untuk memperjelas ketentuan peralihan UU No 4 tahun 2009, dengan diakuinya pasal 169 (a) tentang pengakuan terhadap Kontrak Karya, pasal 169 (c) tentang penerimaan negara secara komprehensif, pasal 170 tentang pengolahan dan pemprosesan di dalam negeri, dan pasal 171 tentang perubahan Kontrak Karya.

Kerja di rumah

Popular Posts