Nuraeni, Dari Duka ke Abon Ikan
VIVAnews - Awalnya dimulai oleh duka. Nuraeni, istri seorang nelayan di Desa Patingaloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar, Sulawesi Selatan, kehilangan sang suami. Rusdi Ambo, lelaki yang selalu melaut itu, dan menjadi tumpuan hidupnya, meninggal pada 2004.
Tanpa Rusdi, Nuraeni seperti di perahu yang kehilangan nakhoda. Semua beban keluarga kini di pundaknya. Dia mencoba membuka warung. Tapi penghasilan dari kedai kecil itu tak cukup buat membiayai keluarga.
Suatu hari, ada kegiatan yang mengubah hidupnya, dan juga para istri nelayan di kampung miskin itu. Pada 2006, dia mengikuti pelatihan pembuatan hasil olahan ikan di dinas perikanan di kotanya. LSM Koalisi Pemberdayaan Masyarakat Sipil (Kupas) memberikan informasi pelatihan itu kepada Nuraeni.
Sepulang pelatihan, perempuan kelahiran 6 Agustus 1969 ini seperti disadarkan pada banyak hal. Di lingkungannya kemiskinan selalu menjadi perkara. Nuraeni kebetulan seorang sarjana. Itu pun dia sulit mencari uang. "Apalagi para ibu nelayan sekitar saya," ujarnya.
Singkat cerita, ia mengajak para nelayan itu mengolah ikan hasil tangkapan nelayan yang tumpah ruah. Banyak ikan terancam terbuang karena telat dipasarkan. Bersama para ibu-ibu itu, Nuraeni lalu mengolahnya menjadi abon ikan. Itu lah gebrakan pertama mereka.
Saat itu abon ikan masih belum familiar. Kebetulan, rumah peninggalan orang tua dan suaminya cukup besar dibanding rumah tetangga. Rumah itupun diubah jadi tempat usaha. Produksi pertama 35 kg abon ikan.
"Saya mencoba membangun kewirausahaan sosial dengan memberdayakan wanita nelayan di sekitar saya," kata Nuraeni, ketika berbincang dengan VIVAnews.com, di Jakarta.
Nuraeni lalu mendirikan kelompok kerja, namanya Fatimah Azzahra. Anggotanya sekitar 200 istri nelayan. Lalu, nama Fatimah Azzahra dijadikan juga merek dagang abon ikan olahan mereka. Untuk produksi abon ikan, yang terlibat memang hanya 10 orang. Tenaga terbesar adalah pemasaran, ini melibatkan 200 orang lebih. "Semua kami pakai istri-istri nelayan," ujarnya.
Karena kegiatan para ibu nelayan itu kini Patingaloang dikenal penghasil abon ikan bermutu. Produk abon ikan itu bahkan menjadi salah satu pilihan buah tangan dari kota Makassar. "Kami sudah bisa berproduksi 250 kilogram setiap minggu. Omsetnya bisa sampai Rp50 juta sebulan," kata dia.
Kini produksinya tak cuma abon ikan, tapi juga bandeng cabut tulang, tumpi-tumpi, bolu kambu, dan olahan rumput laut. "Sebulan kami bisa menghasilkan 600 kg abon ikan, tergantung pesanan. Harga setiap kilonya Rp100 ribu." Modal awal usaha ini diperoleh Nuraeni dari sesama istri nelayan.
Nuraeni menilai potensi sumber daya ikan di kampunganya sangat menunjang, dan dia pun melihat peluang usaha. Dari jerih payahnya itu, kini dia bisa menafkahi keluarganya dan keluarga sekitar tempatnya tinggal.
"Saya bisa memberi makanan tambahan atau tunjangan untuk lansia, dan pendampingan korban kekerasan rumah tangga dari hasil menjual produk abon, abon ikan tuna dan beberapa hasil laut," kata Nuraeni.
Perempuan itu berharap, abon ikan buatannya dapat dipasarkan tak hanya di Makassar, tetapi ke seluruh Indonesia bahkan mancanegara. "Kalau pemasaran lokal di Makassar kami sudah bisa menguasai, kami ingin lebih luas lagi, bahkan ke luar negeri," ujarnya.
Berkat kerja kerasnya itulah Nuraeni menjadi salah satu dari lima pemenang Danamon Awards 2011. Dia mendapat julukan 'Pembina Istri Nelayan'.(np)