Pradjoto: Makna "Kredit Komando" Bank Century

VIVAnews- Kisah putri tersangka kasus Bank Century, Alanda Kariza yang mempertanyakan keadilan di negara ini menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Ibunda Alanda, Arga Tirta Kirana dituntut 10 tahun dan denda Rp10 miliar karena kasus Bank Century.
Arga terseret kasus L/C bermasalah Bank Century yang melibatkan politisi PKS, Misbakhun. Bersama-sama Robert Tantular, Direktur Bank Century Hemanus Hasan Muslim dan Kepala Cabang Bank Century Linda Wangsadinata, Arga dituding melakukan tindak pidana perbankan dan menyebabkan adanya pencatatan dokumen, laporan pembukuan palsu di bank terkait pengajuan L/C ke Bank Century sebesar US$22,5 juta untuk Misbakhun.
Dalam blog-nya, Alanda mempertanyakan tuntutan itu karena lebih tinggi dibanding sang pemilik Bank Century Robert Tantular yang divonis 8 tahun penjara dan hukuman bagi Gayus Tambunan sebesar 7 tahun.
Salah satu kalimat dalam blog-nya adalah :
"Ibu dituduh terlibat dalam pencairan beberapa kredit bermasalah, yang disebut sebagai “kredit komando” karena bisa cair tanpa melalui prosedur yang seharusnya. Beberapa kredit cair tanpa ditandatangani oleh Ibu sebelumnya. Padahal, seharusnya semua kredit baru bisa cair setelah ditandatangani oleh beliau yang menjabat sebagai Kepala Divisi Corporate Legal. Ya, tidak masuk akal.
“Kredit komando” ini terjadi atas perintah dua orang yang mungkin sudah familiar bagi orang-orang yang mengikuti kasus Century melalui berita, Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim. Dua orang ini sudah ditahan dan seharusnya, menurut saya, kasusnya sudah selesai. Ibu dulu hanya menjadi saksi dalam kasus mereka berdua, karena kredit-kredit tersebut cair karena perintah mereka, bukan Ibu. Bahkan tandatangan Ibu pun “dilangkahi”. Pertanyaan saya, mengapa Ibu dijadikan tersangka? Nonsens" selengkapnya baca di tautan ini
Lantas, apakah yang dimaksud kredit komando yang disebut Alanda?
Menurut praktisi hukum perbankan Pradjoto, sepanjang hidupnya ia tidak pernah mendengar istilah kredit komando. Mungkin yang dimaksud adalah kredit yang diberikan atas dasar perintah atasan dan atau pemilik bank. Jika ini yang terjadi, maka itu menunjukkan governance tidak bekerja di bank tersebut. Aturan yang dirumuskan BI dilanggar semua. Akibatnya jumlah kredit yang diberikan macet dan ujungnya akan memberikan tekanan kepada modal bank jika tak mampu untuk menyediakan cadangan yang cukup.
"Inilah sebuah contoh menyeramkan pasca keruntuhan perbankan pada 1997," kata dia kepada VIVAnews.com.
Pradjoto yang juga Komisaris Independen Bank Mandiri ini menjelaskan praktik itu terjadi di zaman sebelum 1997. Namun setelah itu terdapat perbaikan, dimana perbankan bekerja atas dasar governance dan four eyes principle. Pengertiannya yaitu sebuah prinsip yang kurang lebih menyatakan bahwa tidak ada keputusan yagn dapat diambil tanpa melibatkan kontrol dari pihak lainnya.
Jika ada anak buah yang diperintah oleh atasan dengan cara seperti itu, maka anak buah bukan hanya dapat menolak, tapi wajib untuk mengatakan tidak. Menurutnya, banyak hal yang dapat dijadikan dasar, antara lain ketentuan BI soal Good Corporate Governance, prinsip prudential banking, dan sebagianya.
"Jadi posisi bawahan akan sangat salah jika dia hanya menjadi yes man, karena yang dipertaruhkan adalah bank itu sendiri."
Ia berpendapat praktik pemberian kredit atas dasar perintah seperti itu merupakan virus berbahaya di lingkungan perbankan. Putusan pengadilan dapat dijadikan sebagai peringatan buat lingkungan perbankan. (hs)