Kenapa Satu per Satu Maskapai Berguguran

VIVAnews - Maskapai Mandala Airlines berhenti beroperasi untuk sementara. Keputusan itu mengejutkan banyak pihak karena Mandala selama ini dikenal sebagai salah satu maskapai besar di Indonesia.
Berhenti operasinya Mandala karena adanya masalah keuangan dan internal perusahaan lainnya. Mandala berhenti beroperasi selama 45 hari sesuai dengan masa waktu pengajuan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Tidak hanya Mandala, dulu Adam Air juga pernah limbung karena kekurangan modal. Keduanya sama-sama terlilit masalah karena sang investor mulai menarik diri.
Menurut Dirjen Perhubungan Udara Herry Bakti, bisnis penerbangan sesungguhnya bukan bisnis yang murah. Untuk mendapatkan izin operasi, maskapai harus mempunyai minimal 10 pesawat agar bisa bersaing dengan maskapai lain.
"Bisnis penerbangan bukanlah bisnis murah. Bisnis ini ini minimal mendatangkan 10 pesawat, bukan barang yang murah," ujar dia kepada VIVAnews.com di Jakarta, Kamis, 13 Januari 2011.
Biaya mendatangkan pesawat bisa dengan membeli atau menyewa. Minimal maskapai harus bisa mempertahankan operasinya selama satu tahun. Selama enam bulan pertama, kondisi keuangan maskapai pasti mengalami kesulitan atau rugi.
Kementerian Perhubungan menyayangkan kesulitan yang melilit Mandala, karena maskapai itu sudah tumbuh dengan baik. "Kami harapkan sudah bisa buka lagi," ujarnya.
Mantan direktur utama maskapai yang pernah limbung, Adam Air, Adam Suherman, menceritakan pahitnya bisnis ini. Persaingan yang semakin ketat, harga sewa yang mahal, hingga biaya bahan bakar yang tinggi, menjadi alasan utama bisnis penerbangan sering kolaps.
Apalagi bila perusahaan hanya mengelola kurang dari 10 pesawat, bisnis ini susah menutupi biaya-biaya operasional perusahaan.
Mengenai persaingan, Adam mengatakan, bila menyasar penerbangan lokal, saat ini maskapai-maskapai nasional banyak yang telah mapan. Garuda Indonesia telah mengganti dengan pesawat-pesawat baru.
Lion Air juga sudah membeli puluhan pesawat dan menguasai sejumlah rute domestik. Indonesia AirAsia didukung grup besar dari Malaysia. "Jadi sangat berat," katanya.
Sementara itu, bila menyasar penerbangan internasional, kondisinya tidak jauh lebih baik. Perusahaan bakal bertempur dengan maskapai-maskapai raksasa dunia, seperti Singapore Airlines dan Cathay Pacific Airways.
Mahalnya harga sewa pesawat juga menjadi pertimbangan sendiri. Menurut Adam, harga sewa pesawat-pesawat baru tipe Airbus 320 dan Boeing 737-800 Next Generation sekitar US$300 ribu per bulan. Lalu, kalau beli sekitar US$70 juta, belum termasuk diskon. "Dua-duanya tanpa dukungan dana besar akan sulit," katanya.
Direktur Teknik Garuda Indonesia, Ari Sapari berpendapat, menjadi investor maskapai penerbangan sangat menguntungkan."Ada pepatah, jika ingin mengambil banyak keuntungan, ada dua hal yang bisa dilakukan, berjudi dan bisnis penerbangan," ujarnya kepada VIVAnews.com
Namun, dia mengakui, dalam bisnis ini bukan hanya butuh modal besar, mengelola maskapai penerbangan juga diperlukan strategi manajemen yang tepat. Pemasukan harus bisa menutup biaya operasi yang besar. Maskapai harus jeli dalam menetapkan strategi bisnis, menutup biaya operasi yang besar, hingga bagaimana mendapatkan pemasukan dan menguntungkan perusahaan. (art)